Sinar Tani, Jakarta—Desakan agar tenaga penyuluh kembali ditangani pemerintah pusat terus bergulir. Bukan hanya dari organisasi penyuluh dan petani, tapi juga dari akademisi. Alasannya utamanya dengan penyuluh di tangani pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pertanian akan memudahkan koordinasi dalam pelaksanaan program pemerintah.
“Penyuluh pertanian mau kemana? Tolong jangan dibawa kemana-mana, tetap di Kementan. Ini untuk memudahkan koordinasi, terutama dalam pendampingan untuk mencapai swasembda pangan,” kata Dosen Politeknik Pembangunan Petanian (Polbangtan) Bogor, Momon Rusmono di Jakarta, Selasa (2/7).
Pertanyaan jika tidak kemanan-mana, lanjut Momon yang pernah menjabat Sekjen Kementerian Pertanian ini, solusinya adalah penyuluh pertanian harus berubah dan bertranformasi. Apalagi kini memasuki era teknologi informasi.
Perubahan tersebut diantaranya, dalam kebijakan. “Amandemen segera UU Otonomi Daerah, karena menjadi penyakitnya penyuluhan. Hancurnya dan lemahnya kelembagan penyuluhan karena adanya UU tersebut,” katanya.
Bukan hanya itu, ketenagaan penyuluh juga makin lemah, tidak hanya jumlah, tapi juga kompetensinya. Dalam penyelenggaraan, dukungan prasarana dan pembiayaan juga makin rendah. Bahkan anggaran penyuluhan tahun 2024 paling rendah selama ini, jauh lebih rendah dari pendidikan yang mencapai Rp 340 miliar.
Padahal saat berlaku UU No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K), penyelenggaraan penyuluhan menujukkan peningkatan. Dampaknya terlihat dalam kontribusi peningkatan produksi pertanian selama 2015-2019.
Namun terbitnya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, tidak mengakomodasikan secara jelas kelembagaan penyuluhan, baik di provinsi dan kabupaten/kota. Penyuluhan pertanian tidak menjadi bagian dalam lampiran UU tersebut. Konidis tersebut menimbulkan keberagaman persepsi pemerintah daerah mengenai posisi dan peran penyuluh pertanian.
Adanya UU Pemerintahan Daerah menurut Momon, penyuluh pertanian mengalami adaptasi yang luar biasa. Jika sebelumnya ada kelembagaan yang mewadahi penyuluh dalam bentuk Badan Koordinasi Penyuluhan di provinsi dan Badan Pelaksana Penyuluhan di tingkat kabupaten/kota, maka kini kelembagaan tersebut sudah tidak ada lagi.
“Jadi kita harus berubah dengan tetap melihat aturan UU No. 16 Tahun 2006, UU Perlindungan Petani, Perpres No. 35 tahun 2022 dan Permentan No. 27 Tahun 2023. Tapi penyuluhan harus bertransformasi mengikuti dinamika lingkungan dan permasalahan yang berkembang,” tuturnya.
Momon juga mempertanyakan apakah penyuluhan sudah berubah. “Kita sudah berubah. Tapi implementasinya tidak terstruktur dan holistik, serta dinamik, akibatnya jalan ditempat. BPP tolong digempur anggaran agar berjalan. Kita juga harus memperkuat Posluhdes. Dengan bergeraknya Posluhdes, di desa akan ada lembaga penyuluhan,” katanya.
Momon mengajak semua pihak, khususnya penyuluh pertanian, untuk membuat gerakkan. Sebab tanpa adanya gerakkan sulit bagi penyuluh untuk mendapatkan perhatian dari pemerintah. “Mari kita tunjukan penyuluh itu hebat. Saya usul agar ada gerakan penyuluhan untuk komoditas strategis. Tunjukan penyuluh dibutuhkan dalam pendampingan petani,” tegasnya.
Sementara itu Tenaga Ahli Menteri Pertanian, Sam Herodian juga mengatakan, di Kementerian pertanian sudah ada gerakan untuk komoditas strategis secara sistematik. Namun demikian, tujuan untuknya bukan sekadar penyuluh pertanian, karena justru mendeskriditkan penyuluh pertanian
“Memang tanpa penyuluh pertanian diakui, sulit bagi Indonesia untuk mencapai swasembada pangan. Karena itu kita perlu dukungan penyuluh pertanian. Jadi kalau kita mau menjalankan gerakkan memang penyuluh harus kembali ke pusat. Tinggal bagaimana menyiapkan BPP dengan dukungan sarana dan prasrananya,” tuturnya.
Reporter : Julian
Mendorong Pertanian Modern, Kolaborasi Multipihak di Kapuas
Kementan Latih Mahasiswa Butcher untuk Penuhi Kebutuhan Dunia Usaha
Meningkatkan Kompetensi Siswa, SMPP Kementan Kenalkan Teaching Factory