Sinar Tani, Jakarta—Sejak berlakunya Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah membuat Undang-undang No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K) menjadi mandul. Mirisnya, nasib penyuluh yang kini berada di daerah seperti terpinggirkan.
Prihatin dengan kondisi penyuluh pertanian saat ini, Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional (KPPN) menggelar Forum Group Discussion (FGD) “Penyuluh Pertanian Mau Kemana?” di Jakarta, Selasa (2/7). Dari beberapa isu yang mencuat dalam FGD tersebut, paling banyak disuarakan adalah desakan agar penyuluh pertanian menjadi pegawai pusat.
”Demi efektivitas mobilisasi dan administratif, serta menejemen Penyuluh Pertanian, seyogyanya status ASN dan P3K menjadi Pegawai Pusat (Nasional) yang diperbantukan kepada Pemerintah Daerah,” kata Ketua Dewan Pakar Perhimpunan Penyuluh Pertanian Indonesia (Perhiptani), Mulyono Machmur.
Konsekuensi dari kebijakan tersebut menurut Mulyono, biaya penyelenggaraan penyuluhan pertanian, termasuk belanja pegawai diambil oleh Pemerintah Pusat. Namun asset penyuluhan pertanian seperti BPP (Balai Penyuluh Pertanian), tetap menjadi asset Pemerintah Daerah
Dengan ketenagaan penyuluh kembali ke pusat, Mulyono berharap, tujuan strategis pembangunan pertanian dapat terdistribusi dengan baik. Selain itu UU No. 16 tahun 2006 juga dapat dilaksanakan kembali. “UU No. 16 Tahun 2006 tentang SP3K saat ini telah direvisi atas inisiatif DPD-RI dan telah disampaikan ke Baleg DPR-RI. Jadi mohon kiranya segera dimasukan ke PROLEGNAS,” tegasnya.
Sejak diberlakukan UU No. 23 tahun 2014, menurut Mulyono, kelembagaan penyuluhan pertanian di daerah dibubarkan. Karena subsistem kelembagaan juga dibubarkan, sehingga pendanaan atau pembiayaan untuk penyuluhan menjadi tidak lancer. Dampaknya kegiatan penyuluhan menjadi tidak optimal.
Mulyono lebih menyesalkan lagi, saat ini para penyuluh pertanian lebih banyak mengerjakan masalah admisnistratif dan pelaporan karena berada di bawah dinas daerah. Padahal, tugas penyuluh adalah menjadi tenaga pendidik dan pendamping petani.
Peran penyuluh lanjut Mulyono juga sebagai fasilitator terbentuknya lembaga ekonomi dan agribisnis, mediator kemitraan usaha, membangun jaringan bisnis petani dengan mitra usaha dan meningkatkan kemampuan managerial petani.
“Jadi yang paling efektif mereka kembali ditarik menjadi ASN pusat, sehingga ketika pemerintah ingin memobilisasi penyuluh untuk program pemerintah yang membutuhkan peran penyuluh menjadi lebih mudah,” tambahnya.
Hal lain yang menjadi sorotan tajam Mulyono adalah keberadaan Perpres No. 35 Tahun 2022 dan Permentan No. 27 Tahun 2023 sebagai upaya menggerakkan kembali penyuluh pertanian, ternyata di lapangan tidak berjalan efektif. Pasalnya, kelembagan penyuluh di daerah seperti Bakorluh dan Bapeluh sudah dibubarkan. Imbasnya, kelembagaan BPP di kecamatan dan Posluhdes juga tidak bisa berjalan baik.
“Belum lagi sarana dan prasarana dan pembiayaan, ketenaggaan penyuluh, baik yang ASN, P3K, swadaya dan swatsa. Ditambah lagi materi, program dan kegiatan pendampingan Laku Susi,” katanya.
Ia menambahkan, pemerintah saat ini bisa belajar dari keberhasilan Program Bimas dan Inmas. Saat itu sebagai penyedia informasi intelktual adalah penyuluh pertanian, koperasi sebagai penyedian sapras pertanian dan BRI penyedia modal untuk petani. “Saat Bimas dan Inmas dibubarkan tidak ada penggantinya,” katanya.
Sementara itu, Ketua Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional (KPPN), Prof. Dr. Bustanul Arifin, M.Sc juga menilai, ketika penyuluh pertanian menjadi pegawai daerah, bebannya menjadi terlalu berat, bahkan apa yang dikerjakan sudah melebihi tupoksinya. Penyuluh lebih banyak tugas bersifat administrasi dan menangani urusan yang kadang agak jauh dari tugas utamanya.
Hal tersebut menurut Guru Besar Universitas Lampung tersebut, membuat pekerjaan utama penyuluh untuk mengubah perilaku, mengembangan sumber daya manusia pertanian dan mendapingi petani kadang terlupakan. “Dampaknya kinerja usaha tani dan produktifitas pertanian kita lihat saat ini stagnan,” katanya.
Bustanul melihat, penyelenggaraan penyuluhan saat ini terhambat dan tidak efektif. Penyebabnya, ketika UU No. 23 Tahun 2014 diberlakukan, ‘rumah’ penyuluh dibubarkan.
“Kondisi penyuluh setelah adanya UU Otonomi Daerah menjadi kurang terurus, karena banyak Pemda tidak menganggap penting. Bakorluh dan Bapeluh juga hilang. Karena rumahnya tidak ada, rentang kendali Kementerian Pertanian tidak efektif dan terlalu jauh,” tuturnya.
Penyuluh pertanian di kabupaten Kepulauan Mentawai pada saat itu tidak terpasilitasi dengan maksimal karena jangkauan kelapangan sangat jauh dan akses tidak bisa ditempuh
Bismillah semoga Kedepan bisa lebih baik lagi ya kak
Kami penyuluh swadaya tdk menerima honor dan kami tetap semangat sebai sarjana pertanian
semoga kedepan penyuluh bisa lebih sejahtera ya kak
Wacana ditarik kembali ke pusat sudah lama dihembuskan dan menjadi harapan bagi seluruh penyuluh, tapi ya itu tadi, hanya selesai di tahap wacana saja, dan entah kapan bisa terealisasikan
Penyuluh pertanian daerah terasa kecil dibandingkan dengan penyuluh penyuluh lain yg sudah ditarik ke pusat
Penyuluh pertanian memang agak menggelitik, waktu jadi tenaga honorer alias THLTB PP Statusnya pegawai/tenaga di bawah kementerian pertanian, setelah jadi ASN status nya menjadi pegawai daerah. Tidak seperti tenaga penyuluh yg lain salah satu contohnya penyuluh KB waktu jadi honorer statusnya tenaga daerah/pemda setelah jadi ASN statusnya langsung di bawah BKKBN