Sinar Tani, Cianjur — Mempunyai penyuluh milenial sebenarnya mempunyai keunggulan tersendiri lho. Umumnya mereka punya pemikiran yang jauh kedepan (visioner) dengan memanfaatkan potensi daerahnya. Seperti Desa Gekbrong dan Kebonpeuteuy yang beruntung memiliki penyuluh millenial bernama Nurfadilah Ros Pandanwangi.
Pertanian di Desa Gekbrong sebagian besar potensinya hortikultura. Sedangkan Desa Kebonpeuteuy tanaman pangan dan hortikultura. Kedua desa ini berada di kaki Gunung Gede dan termasuk kawasan penyangga.
“Alhamdulillah cukup banyak petani milenial di dua Desa Gekbrong dan Kebonpeuteuy, terutama komoditas hortikultura dan memang berpotensi untuk kita terus dorong. Jadi kalau untuk di hortikultura adopsi teknologi, penguasaan gadget dan lain-lain cukup baik,” ujarnya kepada Sinar Tani
Ragam produk hortikultura yang dibudidayakan, mulai dari cabai, tomat, wortel, kubis dan paprika. Untuk produk paprika, tomat cherry dan tomat beef petani di kedua desa binaan penyuluh millenial berusia 38 tahun ini. Bahkan sudah bekerjasama dengan pasar-pasar modern dalam pemasarannya. Pemasarannya sudah ke Jakarta, Bandung, hingga Tangerang, dan dalam waktu dekat adalah mengeksekusi pasar ekspor. “Insha Allah selanjutnya Kami bersama-sama akan mengarah ke pasar ekspor. Dengan dukungan dari instansi dan dinas pertanian di kabupaten,” tukas Nurfadilah yang menjadi penyuluh pertanian sejak 2010.
Para petani binaan Nurfadilah baru diajarkan Good Handling Practices atau Pelatihan Pascapanen produk hortikultura. Dari pelatihan itu membuat petani-petani dan kelompok yang terlibat sadar bahwa pemasaran merupakan hal yang sangat penting.
“Diatas 50% petani hortikultura binaan Saya petani milenial. Petani milenial bukan hanya dari segi usia, tapi juga dari sisi adopsi teknologi mereka,” tuturnya.
Manfaatkan Teknologi
Wanita lulusan Intitut Pertanian Bogor ini mengaku dalam kegiatan penyuluhannya mengkombinasi sistem lama dengan pendekatan tekologi terkini melalui internet seperti media sosial. Pemanfaatan sarana teknologi komunikasi baik melalui telpon, WhatsApp, Facebook, Instagram, dan aplikasi lainnya untuk mnyebarluaskan informasi dan teknologi prtanian. “Jalin hubungan baik dengan kontak tani atau penyuluh swadaya karena mereka juga bisa bantu dalam diseminasi teknologi ke petani lainnya,” tambahnya.
Intinya, tetap memberdayakan kelembagaan tani seperti Kelompok Tani (poktan), Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), Kelompok Wanita Tani (KWT), dan Pos Penyuluhan Pertanian Desa (Posluhdes). Termasuk, bersinergi dengan dinas pertanian, pemerintah desa, penyuluh lain baik swasta maupun instansi lain (kehutanan, peternakan, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dan lainnya). “Di Desa Gekbrong ada 7 poktan dan 2 KWT, sedangkan di Desa Kebonpeteuy ada 7 poktan dengan satu KWT,” tuturnya.
Nurfadilah menuturkan kondisi pertanaman padi di daerahnya mengalami kesulitan karena terbatasnya kepemilikan lahan petani, sehingga nilai ekonomi yang didapat tidak bagus. Kami berupaya dalam penerapan teknologi sehingga dengan lahan yang sedikit mereka bisa memaksimalkan dan meningkatkan produktivitas. Untuk jaminan harga agak sulit, paling Kami menyarankan petani untuk menanam padi khusus seperti organik, padi merah, padi hitam. Jadi hasil panen mereka bisa mendapat harga yang lebih bagus,” ungkapnya.
Untuk Desa Gekbrong, pemerintah sudah mendukung tanaman bawang putih, pengembangan cabai, ada juga bantuan program pompanisasi. Dengan adanya pompanisasi dan bak penampungan air, Nurfadilah berharap semoga bisa membantu petani mengatasi permasalahan kekurangan air pada musim kemarau sehingga usaha tani mereka tetap bisa berjalan.
Bantuan lain dari pemerintah yakni motor roda tiga, digunakan untuk memasarkan hasil panen petani. Ada juga bantuan alat sensor pendeteksi cuaca dan tanah. Jadi alat tersebut dihubungkan dengan aplikasi, sehingga petani bisa tahu kebutuhan pupuk lahan yang bersangkutan. Alat tersebut menggunakan panel surya. Deteksi alat ini bisa mencapai area seluar 5-20 ha.
Sedangkan di hortikultura, Nurfadilah menuturkan kendala utamanya adalah harga yang selalu berfluktuasi. “Kaya tomat misalnya, sering banget jatuh. akhirnya kami ajak petani untuk bisa mengolahnya menjadi pasta, dan olahan lainnya. Kami harapkan ada bantuan alat pengering. Jika diolah menjadi cabe bubuk atau pun pasta maka daya simpannya bisa lebih lama. Karena jika proses pengeringan dilakukan secara manual, hasilnya kurang maksimal,” harapnya.
Diakui Apkasindo, Prof. Rachmat Pambudy Jadi Bapak Motivator Petani Sawit
Ai Awang Hayati: Sukses Membawa Kopi Sumedang Mendunia
Eks Bos ASABRI, Wahyu Suparyono, Kini Pimpin Bulog!