Sinar Tani, Jakarta — Perdebatan mengenai masalah subsidi pupuk bersubsidi tampaknya tak pernah berakhir. Berbagai macam pola dan mekanisme subsidi pupuk telah diperkenalkan oleh pemerintah, yang terbaru adalah melalui Kartu Tani. Namun, dengan anggaran yang semakin terbatas, tantangan utama pemerintah saat ini adalah bagaimana mengoptimalkan penggunaan dana untuk subsidi pupuk.
Sejak awal pemberlakuan subsidi pupuk, besarnya anggaran yang diperlukan sangat signifikan. Pada tahun 2018, misalnya, untuk volume pupuk subsidi sebesar 9,95 juta ton, pemerintah mengalokasikan dana subsidi sebesar Rp 33 triliun. Namun, dengan berkurangnya volume pupuk subsidi menjadi 7,91 juta ton pada tahun 2021, dan hanya 4,7 juta ton pada tahun 2023, anggaran yang diperlukan pun semakin menurun, yaitu sekitar Rp 25,27 triliun.
Besarnya anggaran ini menjadi sorotan dan menuai pro dan kontra. Efektivitas dari subsidi ini dalam mendukung pertanian, khususnya dalam meningkatkan produktivitas dan melindungi petani kecil, menjadi pertanyaan besar. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan, Prof Erizal Jamal, mengemukakan bahwa Presiden Jokowi dalam sidang Kabinet pada 15 Maret 2023, menyarankan perubahan pola subsidi pupuk, termasuk dengan penggunaan Bantuan Langsung kepada Petani (BLP).
Namun, berbagai eksperimen seperti di Karawang dengan pola BLP tidak selalu berhasil, meskipun rencananya akan dilanjutkan oleh World Bank dan Bappenas di Bangka Belitung serta Kalimantan Selatan.
Saat ini, mekanisme subsidi pupuk berupa subsidi barang yang tidak langsung. Pemerintah memberikan kompensasi kepada produsen pupuk (PIHC) untuk selisih antara harga pasar dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi. Distribusi pupuk dilakukan dari pusat ke daerah, dengan kriteria penerima subsidi termasuk petani dengan lahan kurang dari 2 hektar yang tergabung dalam kelompok tani dan mengajukan usulan melalui e-RDKK. Jenis komoditas yang didukung antara lain padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, kopi, kakao, dan tebu rakyat.
Namun, keefektifan skema subsidi ini masih dipertanyakan. Diskusi menunjukkan bahwa meskipun anggaran untuk subsidi terus meningkat, produktivitas pertanian seperti produksi padi tidak mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun 2012 hingga 2022. Lebih jauh lagi, sebagian besar manfaat dari subsidi ini justru dinikmati oleh petani besar, bukan petani kecil.
Erizal menegaskan perlunya memilih antara tujuan meningkatkan produktivitas atau melindungi petani kecil, terutama dengan anggaran subsidi yang terbatas. Sehingga, rekomendasi Presiden Jokowi mengenai arah subsidi pupuk menjadi hal yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut.
Reporter : Gsh
Baca juga
Kunjungi Dokter Tani, MAPORINA Jateng Dorong Pertanian Organik Lewat Kolaborasi
Optimalkan Aliran Air, BBWSPJ dan Pemkab Sidrap Gali Saluran Irigasi
Listrik Masuk Sawah, Dukung Ketahanan Pangan Kabupaten Demak