14 November 2024

Sinar Tani

Media Pertanian Terkini

Mengurai Polemik Bioteknologi, Pentingnya Edukasi dan Sosialisasi di Indonesia

Sinar Tani, Jakarta Polemik mengenai produk bioteknologi di Indonesia tidak lepas dari minimnya sosialisasi yang dilakukan kepada masyarakat. Padahal, di banyak negara di dunia, petani sudah banyak menerapkan varietas hasil rekayasa genetika (PRG). Salah satu contoh yang nyata adalah kedelai GMO (Genetically Modified Organism) yang justru menjadi bahan baku tempe dan tahu, makanan sehari-hari rakyat Indonesia.

Sejarah perjalanan bioteknologi di Indonesia dimulai sejak tahun 1985, dengan pendirian Konsorsium Bioteknologi Indonesia (KBI) pada tahun 1992, yang dilanjutkan dengan ratifikasi Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (UN CBD) pada tahun 1994. Langkah besar dalam penerapan bioteknologi di Indonesia tercatat dengan pelepasan kapas transgenik pada tahun 2001.

Namun, kontroversi yang melingkupi kapas Bt milik salah satu perusahaan multinasional saat itu membuat para pelaku usaha ‘mengerem’ langkah mereka dalam melanjutkan kajian produk bioteknologi, khususnya PRG, di Indonesia. Pemerintah pun terus merespons dengan merancang peraturan-peraturan terkait bioteknologi tersebut.

Sejak saat itu, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mengatur produk bioteknologi, khususnya rekayasa genetika. Beberapa regulasi yang penting di antaranya adalah UU No. 6 tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati, Keputusan Bersama 4 Menteri Tahun 1999 tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Hasil Rekayasa Genetika, serta UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman.

Pemerintah juga mengambil sikap kehati-hatian dalam penerapan bioteknologi. Menurut Yusra Egayanti, Direktur Perumusan Standar Keamanan dan Mutu Pangan dari Badan Pangan Nasional (Bapanas), pendekatan kehati-hatian ini bertujuan untuk meminimalisir risiko yang mungkin timbul dari penggunaan PRG. Selain itu, pemerintah ingin memastikan bahwa produk tersebut tidak membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan. “Undang-undang kita menyebutkan bahwa hanya produk yang telah dinyatakan aman untuk pangan, pakan, dan lingkungan yang dapat dikonsumsi manusia, dibudidayakan, atau diberikan kepada ternak,” jelas Yusra.

Baca Juga :  Inpari IR Nutri Zinc, Pangan Cerdas Keluarga Sehat

Pentingnya Komunikasi dan Edukasi

Yusra juga menekankan pentingnya komunikasi ilmiah dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk parlemen, untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya bioteknologi dalam peningkatan produksi pangan. Sosialisasi, edukasi, dan advokasi yang berkelanjutan kepada semua pihak yang terlibat dalam rantai pangan menjadi krusial. Menurut Yusra, hal ini melibatkan semua pihak, mulai dari petani, kementerian, dan lembaga terkait, hingga pascapanen, distribusi, retail, dan konsumen.

Yusra menambahkan bahwa sosialisasi dan edukasi yang memadai dapat mengurangi ketidakpastian dan kekhawatiran masyarakat terkait penggunaan PRG. Ia juga melihat potensi besar dalam bioteknologi untuk mendukung pembangunan pertanian dan pangan di Indonesia, terutama di tengah tantangan perubahan iklim. “Jika tingkat adopsi bioteknologi oleh petani tinggi, maka produksi pangan di hilir tidak akan menghadapi masalah serius,” tegasnya.

Kolaborasi dan Solusi

Asisten Deputi Prasarana dan Sarana Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian, Dr. Ismariny, juga menyoroti pentingnya sosialisasi terkait teknologi rekayasa genetika agar tidak menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Menurutnya, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mendukung adopsi teknologi pertanian, termasuk produk rekayasa genetika, untuk menghadapi tantangan seperti pemanasan global dan gangguan organisme pengganggu tanaman.

Biotechnology and Seed Lead Croplife Indonesia, Agustine Christela Melviana, mengakui bahwa tantangan utama dalam produk bioteknologi adalah persepsi publik yang keliru dan lamanya proses akses pasar. Menurutnya, perlu adanya kolaborasi dan komunikasi yang efektif dengan semua pemangku kepentingan terkait agar persepsi publik terhadap bioteknologi dapat diperbaiki.

Stela menegaskan bahwa sejauh ini tidak ada bukti kuat yang menunjukkan perbedaan risiko terhadap kesehatan manusia antara benih bioteknologi yang tersedia secara komersial dan tanaman yang dibudidayakan secara konvensional. “Komunikasi yang sistematis dan mudah dimengerti khalayak umum sangat penting agar persepsi publik tidak salah terhadap produk bioteknologi,” katanya.

Baca Juga :  Menumbuhkan P4S, dari Petani untuk Petani

 

Reporter : TIM SINTA

tidak boleh di copy ya

error

suka dengan artikel ini