Sinar Tani, Bogor — Pakar pertanian dengan tegas mengajukan permintaan kepada pemerintah untuk membatalkan rencana impor beras sebanyak 3 juta ton pada tahun ini. Langkah ini diambil guna melindungi harga gabah kering panen (GKP) agar tidak terus merosot akibat melimpahnya pasokan beras impor di Indonesia.
Dwi Andreas Santosa, Guru Besar IPB University dan Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Pertanian Indonesia (AB2TI), dengan tegas menyoroti dampak konkret dari wacana impor beras sebanyak 3 juta ton, yang secara signifikan telah menurunkan harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani.
Dalam waktu singkat, harga GKP yang semula Rp7.500 per kilogram merosot menjadi Rp6.800 per kilogram. Andreas mempertanyakan keputusan impor tersebut, mengingat pernyataan Presiden baru-baru ini yang menyatakan niat untuk melakukan impor sejumlah besar beras pada tahun 2024.
Ia menyerukan pembatalan keputusan tersebut, mengingat kelangkaan gabah saat ini, namun harga gabah malah turun karena impor berlebihan pada tahun 2023.
Menurut Andreas, langkah pembatalan impor beras menjadi krusial hingga harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani dapat meningkat. Dengan menjaga harga GKP dengan baik, akan memotivasi petani untuk intensifikasi penanaman padi, yang pada gilirannya akan meningkatkan produksi.
Saat ini, Harga Pembelian Pemerintah (HPP) GKP masih berada pada level Rp5.000 per kilogram. Andreas mengindikasikan adanya risiko penurunan harga GKP saat panen raya mendatang, bahkan mungkin turun di bawah Rp5.000 per kilogram.
Di sisi lain, Andreas juga memproyeksikan peningkatan produksi beras pada tahun 2024 sekitar 3-5 persen dibandingkan dengan produksi tahun 2023. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan produksi beras ini antara lain adalah meredanya fenomena El-Nino, kembalinya iklim normal, dan harga GKP yang masih dianggap memadai.
“Karena itu, yang penting batalkan impor, lalu segera naikkan HPP untuk GKP. Usulan kami dari Rp5.000 ke Rp6.000 [per kilogram],” tuturnya.
Impor Tertinggi
Dwi Andreas Santosa mencatat bahwa impor beras pada tahun 2023 sebanyak 3,06 juta ton, meskipun tinggi, bukan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Puncak impor beras tercatat pada tahun 1998 dengan jumlah 6,4 juta ton, diikuti oleh tahun 2011 dengan 2,7 juta ton, dan tahun 2018 dengan 2,3 juta ton.
Menurut Andreas, keputusan pemerintah untuk mengimpor beras dalam jumlah besar pada 2023 dianggap sebagai langkah yang tidak berdasar.
Ia menyatakan bahwa pemerintah hanya mengambil keputusan tersebut berdasarkan asumsi kekhawatiran terhadap penurunan produksi akibat El Nino.
Andreas menilai bahwa seharusnya pemerintah tidak perlu mengimpor beras dengan jumlah sefantastis itu, karena angka impor tidak sebanding dengan penurunan produksi pada tahun 2023 yang hanya mencapai sekitar 650.000 ton.
Berdasarkan laporan BPS pada Desember 2023, produksi beras untuk konsumsi pangan penduduk pada tahun 2023 diperkirakan sekitar 30,90 juta ton, mengalami penurunan sebesar 645.090 ton atau 2,05 persen dibandingkan dengan produksi beras pada tahun 2022 yang mencapai 31,54 juta ton.
Andreas menyatakan keraguan apakah keputusan impor sebanyak 3 juta ton masuk akal, mengingat besarnya impor tidak sebanding dengan penurunan produksi yang terjadi pada tahun 2023.
Sementara itu, Pengamat Pertanian dan Ketua Komunitas Industri Beras Rakyat (Kibar), Syaiful Bahari, mengakui bahwa jumlah impor beras selama satu dekade pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) merupakan yang terbesar dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Meskipun Jokowi sering kali menekankan komitmen untuk mencapai swasembada pangan dan anti impor, tetapi kenyataannya impor beras tetap dilakukan.
“Jika ditotal jumlah impor di era Jokowi sampai 2023 sebesar 9,4 juta ton. Jika ditambah 2 juta ton di 2024 berarti selama dua periode, impornya mencapai lebih dari 11,4 juta ton,” ungkap Syaiful.
Syaiful juga mencatat bahwa keputusan untuk mengimpor beras tampaknya terjadi pada tahun-tahun menjelang pemilihan umum (Pemilu).
Pada tahun 2018, setahun menjelang Pemilu, impor beras mencapai sekitar 2,3 juta ton. Begitu juga pada tahun 2023, setahun menjelang Pilpres 2024, pemerintah kembali mengimpor beras hingga 3 juta ton.
Meskipun demikian, Syaiful mengakui bahwa penurunan produksi merupakan salah satu alasan utama dilakukannya impor beras dalam jumlah besar, selain kepentingan politis Presiden menjelang berakhirnya masa kepemimpinan.
Meskipun produksi beras telah mengalami penurunan sejak 2019, hal tersebut justru berdampak pada kenaikan harga beras selama tahun 2023 hingga saat ini.
Baca juga
Pengusaha: Ketidakpastian Pasokan Jadi Akar Masalah Harga Minyak Goreng
Inovasi Poktan Merdeka Medan, Olah Tongkol Jagung Jadi Tepung
Kementerian Pertanian Ajak Investor Vietnam Investasi Peternakan di Lembah Napu, Sulawesi Tengah