Sinar Tani, Jakarta—Perkebunan menjadi subsektor pertanian yang hingga kini menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional. Komoditas sawit menjadi paling dominan pengisi kocek negara. Sayangnya beberapa komoditas perkebunan, khususnya yang dimiliki rakyat justru tengah mengalami masa suram. Banyak tanaman yang sudah tua dan rusak, sehingga produktivitasnya rendah. Belum lagi gangguan hama penyakit.
Sebagai komoditas yang punya potensi pasar cukup besar, baik dalam negeri maupun luar negeri, Hari Perkebunan Nasional menjadi moment kebangkitan perkebunan nusantara. Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian telah mencanangkan Perkebunan Bioindustri .
“Ekspor masih menjadi perhatian kita, karena masih dikuasai kelapa sawit 80-90 persen. Untuk itu, kita harapkan tahun-tahun mendatang, komoditas lain juga meningkat ekspornya,” kata Direktur Perlindungan Perkebunan, Kementerian Pertanian, Baginda Siagian saat Webinar Hari Perkebunan: Membangkitkan Kejayaan Perkebunan Nusantara yang diselenggarakan Tabloid Sinar Tani, Kamis (8/12).
Data menyebutkan, selama periode Januari-Oktober 2022 ekspor perkebunan menyumbang devisa negara sebanyak Rp 520,76 triliun atau 94,66 persen dari total ekspor komoditas pertanian sebesar Rp 550,11 triliun. Dari nilai ekspor perkebunan tersebut hampir 73 persen disumbang produk minyak sawit dan turunannya.
Melihat pertumbuhan perkebunan, Baginda mengatakan, setelah memasuki fase penumbuhan 1 (zona belajar) tahun 1954-1980, kemudian fase peumbuhan 2 (zona pertumbuhan) tahun 2000-2015. Kini perkebunan dalam negeri memasuki fase penguatan. Namun fase ini merupakan zona ketakutan. “Dari fase penguatan ini kita menuju zona nyaman, tapi justru menjadi zona ketakutan,” kata Baginda.
Pasalnya, kini banyak tanaman perkebunan sudah mulai tua, rusak dan tidak produktif lagi. Selain itu, infrastruktur juga sudah banyak yang rusak, penyediaan bahan tanam unggul yang belum optimal dan SDM, khususnya petani belum menerapkan budidaya dengan baik sesuai Good Agricultura Practices (GAP). “Zona ketakutan ini akan benar-benar terjadi jika kita tidak bisa lebih baik dalam tata kelola perkebunan,” tegasnya.
Perkebunan Bioindustri
Untuk menghindari dari zona tersebut, Baginda menegaskan, pemerintah menerapkan perkebunan bioindustri melalui teknologi modern. Hal ini dicirikan dengan penggunaan varietas unggul, efisien dan efektifitas, integrated farming, zero waste dan eco friendly. Petani juga telah menerapkan GAP, GHP, dan pemenrapkan mekanisas, serta pemanfaatan IoT.
Untuk membangun perkebunan bioindustri ini, pemerintah melakukan reorientasi program dan manajemen. Programnya, penyiapan logistik benih perkebunan melalui program BUN500. Kegiatannya, melalui penguatan nursery dan perbenihan mandiri. Program lainnya, pengembangan komoditas berbasis Kawasan yakni, Kawasan Tanaman Tahunan dan Penyegar dan Kawasan Tanaman Semusim dan Rempah.
Selain itu upaya peningkatan produksi, produktivitas dan pengendalian OPT, serta peningkatan mutu dan pengembangan produk perkebunan. Program lainnya yang kini didorong adalah Perkebunan Partisipatif (Pasti). Beberapa kegiatannya yang terbilang baru yakni, peningkatan kapasitas usaha kelapa genjah pandan wangi, Korporasi Kopi (JPLM), pengembangan Pabrik Mini Minyak Goreng (PAMIGO) dan pengembangan Stevia sebagai subsitusi gula tebu. “Perkebunan partisipatif ini kita berusaha kurangi ketergantungan APBN, kita dorong pelaku usaha,” ujarnya.
Baginda menjelaskan, pihaknya juga mengembangkan Ekosistem Perkebunan (Eksis). Unsur-unsur yang terbangun dalam Eksis mempunyai hubungan timbal balik yang saling terkait dalam suatu lingkungan perkebunan. Misalnya, Ekosistem Perkebunan Kopi terdiri dari petani kopi, penyedia bibit, penyedia pupuk, penyedia alsintan, pedagang, dan pengusaha
Kegiatan lainnya Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Pemerintah menargetkan PSR 180 ribu ha/tahun. Saat ini realisasi rata-rata baru 49 ribu ha/tahun. Persentase capaian terhadap target 27,7 persen dan yang sudah rekomtek seluas 258.653 ha. Sedangkan yang sudah tumbang chipping seluas 209.357 ha (81 persen) dan yang sudah tanam 189.367 ha (73 persen) dan panen seluas 1.915 ha (0,74 persen).
Ditjen Perkebunan kini mendorong tumpang sari sawit dan tanaman pangan atau Kesatria untuk mendukung swasembada pangan. Target program Ksatria ini seluas 180 ribu ha dan realisasi pada tahun 2022 mencapai 2.170 ha. Satu yang tak bisa diabaikan adalah peningatakan mutu agar semakin mudah masuk pasar ekspor dan pengembangan produk baru.
Bagi sahabat Sinar Tani yang ingin mendapatkan materi dan e sertifikat bisa diunduh dibawah ini.
Link Materi: Klik Disini
Link e Sertifikat : Klik Disini
Link Sertifikat Berdasarkan Nomor : Klik Disini
Baik