Sinar Tani, Jakarta — Gerakan untuk meningkatkan ketahanan pangan telah dilakukan dengan berbagai pendekatan: ekstensifikasi, intensifikasi, dan diversifikasi konsumsi. Menyoroti upaya membangun ketahanan pangan Indonesia, Prof Bungaran Saragih, Guru Besar IPB University mengatakan bahwa Ketahanan Pangan harus dibedakan dengan Swasembada Pangan.
Swasembada Pangan tidak mudah untuk dicapai karena menyangkut banyak komoditas pangan. Yang prioritas adalah mewujudkan Ketahanan Pangan sedangkan Swasembada beras penting karena sarat dengan nuansa politis.
Swasembada beras pun tidak mungkin dilakukan hanya dengan pendekatan supply tetapi harus juga melalui pendekatan demand. Penduduk Indonesia terus bertambah sehingga Swasembada Beras dengan tingkat konsumsi beras per kapita yang masih tinggi seperti sekarang ini harus terus berkejaran dengan peningkatan jumlah penduduk.
Saragih menekankan bahwa upaya meningkatan produksi beras harus berjalan seiring dengan diversifikasi sumber karbohidrat ke non beras. Konsumsi beras harus terus menurun dan perhatian besar juga harus diberikan kepada peningkatan produksi hortikultura, perikanan dan peternakan yang menjadi sumber protein, mineral dan gizi lain selain karbohidrat. Peningkatan status gizi masyarakat harus dipenuhi dengan konsumsi pangan lain secara seimbang.
Upaya peningkatan produksi beras memang menghadapi banyak kendala. Lahan untuk tanaman pangan, sarana produksi dan kondisi sumberdaya manusia menjadi kendala besar. Pupuk yang dihasilkan di Indonesia jumlahnya terbatas, hanya urea karena fosfat dan kalsium masih tergantung pada impor. Petani kita adalah aset utama dalam pembangunan pertanian, bahkan menjadi tujuan utama, yaitu menyejahterakan mereka.
Masalah terbesar dalam pertanian kita adalah kegureman yang luar biasa. Peningkatan produksi maupun kesejahteraan petani menghadapi kendala aset lahan petani yang kecil.
Apalagi, produktivitas padi masih belum beranjak signifikan sejak 30 tahun lalu, yaitu sekitar 6 ton per hektar. Potensi produktivitas yang tinggi bahkan sampai 12 ton per hektar lebih, sudah bisa dicapai di beberapa negara lain. Inilah peluang yang masih terbuka bagi petani Indonesia. Selain itu, Bungaran Saragih menyoroti aspek koordinasi yang perlu diwujudkan dengan lebih baik lagi dalam mendukung pembangunan pertanian.
Melihat kenyataan dan pemikiran di atas, diluncurkannya program MBG (Makan Bergizi Gratis) oleh pemerintah, selain akan meningkatkan gizi dan mengatasi stunting, bisa juga merupakan peluang bagi petani dan pelaku usaha lainnya di lokasi kegiatan MBG untuk terlibat dalam program besar ini. MBG menciptakan pasar langsung produk pertanian setempat yang menguntungkan petani.
Kegiatan ekonomi lokal, termasuk pertanian akan menciptakan keuntungan dan peluang bisnis. MBG bisa berdampak ganda bagi peningkatan gizi dan peningkatan ekonomi masyarakat jika dirancang dengan melibatkan pelaku ekonomi di daerah bersangkutan.
Baca juga
Penyuluh ditarik ke Pusat
Jangan Lupakan Pangan Lokal
Belajar dari Minahasa Selatan