Sinar Tani, Jakarta — REDD (Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries), Biochar dan Carbon Farming masih asing di telinga orang awam, tapi aplikasinya sedikit banyak telah dilakukan petani kita. Upaya yang mahal dan lama ini hanya untuk menjaga agar temperatur dunia tidak meningkat lebih dari 1,5 derajat Celcius.
Biochar dihasilkan melalui proses pirolisis (pembakaran tanpa oksigen) biomasa. Biochar selanjutnya dibenamkan kedalam tanah sebagai pemulia tanah. Biochar bukan pupuk, tapi pembenah tanah yang harus dibenamkan ke tanah yang biomasanya diambil.
Biochar bermanfaat dalam meningkatkan serapan unsur hara, menambah daya tampung air, mengurangi pencucian hara dan degradasi kesehatan tanah, meningkatkan biomasa dan mikro organisme, serta membantu menetralkan pH tanah.
Proses remediasi tanah yang dilaksanakan dalam skala laboratorium menunjukkan, biochar berbahan dasar sekam padi mampu menurunkan kandungan logam kadmium (Cd) dan besi (Fe) di bekas areal tambang.
Bila biochar bisa diproduksi dalam jumlah besar, setara dengan jumlah karbon yang masuk ke atmosfir, maka akan terjadi keseimbangan antara gas CO2 yang masuk dan keluar atmosfir. Penyimpanan karbon sebesar 1 gigaton (setara dengan biomasa dari 500 juta hektar) per tahun selama 40 tahun, akan menghambat penambahan konsentrasi gas CO2 di atmosfir, sehingga laju penambahan gas rumah kaca bisa dicegah.
Marianne Klute mengingatkan, proses pembuatan arang dan energi (pirolisis) dalam luasan besar, apalagi jutaan hektar, dapat menghasilkan polusi tanah dan udara yang berbahaya. Menurutnya, dalam konsep REDD pembakaran harus dihindari, hutan alam harus dijaga, dilindungi dan dikelola secara berkelanjutan untuk menjamin kehidupan manusia dan ekosistem di dalam hutan.
Karbon dioksida secara alami juga ditangkap dari atmosfir melalui proses biologi, kimia, dan fisik. Sekuestrasi karbon (carbon sequestration) adalah penangkapan dan penyimpanan karbon dari atmosfir dalam jangka waktu yang lama oleh alam dan ekosistem seperti hutan, rawa gambut, pantai, dan lautan. Tumbuhan menyerap CO2, menyimpan dalam jaringan tanaman dan kemudian berpindah ke hewan melalui proses rantai makanan.
Tumbuhan dan hewan mati akan mengalami proses penguraian, terkubur dalam lapisan tanah dan menjadi fosil dalam jangka waktu lama. Dalam konsep “Carbon Farming” yang diadopsi Uni Eropa, petani menerapkan metoda bertani yang meningkatkan penyerapan CO2 dan menyimpannya dalam bentuk karbon di dalam tanah.
Sisa tanaman di pedesaan Indonesia juga sudah mulai dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan produksi lain seperti pakan ternak dan ikan atau dibenamkan kembali ke tanah sebagai pupuk organik (zero waste system). Jerami tidak dibakar, dibuat menjadi makanan ternak, humus atau bahan organik, makanan bagi mikro organisme agar tanah yang sakit menjadi subur kembali.
Alam memang menyediakan mekanisme keseimbangannya, tapi sekarang berubah, porak poranda, karena manusia telah mengintervensinya. Sekarang kita harus bekerja keras dengan biaya mahal memulihkannya. Ironi memang.
Reporte : Memed Gunawan
Baca juga
Ketahanan Pangan dan Swasembada Pangan
Jangan Lupakan Pangan Lokal
Belajar dari Minahasa Selatan