Sinar Tani, Bogor—Simposium yang diselenggarakan APPERTANI (Aliansi Peneliti Pertanian Indonesia) berjudul Sustainable Agriculture for Future Generation membuka mata kita tentang Smart Farming yang digadang-gadang sebagi solusinya. Petani bernama Jay Reiners, seorang petani jagung dari Nebraska, Amerika Serikat membagi pengalaman yang membuat kita terbelalak.
Pasalnya ladangnya seluas 1135 ha, milik keluarga turun temurun empat generasi selama 130 tahun itu dikerjakan hanya oleh tiga orang anggota keluarga.
Dari ladang seluas itu, 890 hektar ditanami jagung dengan sangat efisien menggunakan teknologi tinggi yang disebut Smart Farming. Pertanian dengan penggunaan minim tenaga manusia di lapangan sudah umum terjadi di negara maju.
Pertanyaannya bagaimana dengan kita? Seperti itukah pertanian yang ingin kita bangun?
Mari kita lihat dulu seperti apa yang petani bernama Jay itu lakukan. Di layar pemantau digital di ladangnya atau di kamar kerjanya yang nyaman semua kegiatan di lapangan itu terpantau. Pemilik lahan memperoleh informasi mengenai hara, kondisi air, hama dari big data global yang kemudian diolah untuk menentukan tindakan yang harus diambil dengan akurasi tinggi. Tidak berlebih dan tidak kurang.
Lihatlah peralatannya yang cangggih. Dengan menggunakan GPS, satelite imaging, dan mesin-mesin canggih, seluruh kegiatan di lapangan mulai dari pengolahan tanah, penanaman, pemupukan, penyiraman dan pemanenan dilakukan tanpa tenaga manusi.
Semuanya dikontrol hanya dengan menggunakan handphone. Oleh sebab itu cukup ditangani oleh tiga orang saja. Selama empat generasi produktivitas jagungnya sudah meningkat dari 1,29 ton/ha (1930) menjadi 10,87 ton/ha (2022).
Penjualan produk dan pembelian sarana produksi dilakukan dengan cara kontrak melalui koperasi. Tidak ribet, sudah baku dan koperasi pasti berpihak pada petani, tidak ada kekuatiran diperdaya. Sayang belum terdengar apa yang ada di kepala petani kaya itu ketika dia tahu bahwa luas usahatani kita secara rata-rata hanya sekitar setengah hektar saja.
Mendengar pengalamannya dalam mengaplikasikan Smart Farming di atas, kita boleh saja terperangah, tapi pasti tak bisa meniru begitu saja. Luas usahatani kita sangat berbeda. Demikian pula kondisi sosial ekonomi dan kulturalnya.
Banyak keterbatasan untuk menggunakan peralatan canggih karena lahannya kecil dan kondisi infrastruktur belum memadai, apalagi di pedesaan. Kita harus melakukan pertanian yang ramah lingkungan, Smart Farming, tetapi lebih bijak. Kecuali di lahan baru yang luas seperti Food Estate.
Jauh sebelum isu perubahan iklim muncul, kebijakan pertanian hemat input sudah disosialisasikan. Smart Farming kita lebih hemat air, lebih ramah lingkungan, dan lebih efisien dalam segala hal dengan memanfaatkan sejauh mungkin informasi dan teknologi terkini yang sesuai, dari mana pun itu berasal.
Ciri pertanian kita adalah skala kecil, keterikatan petani dengan lahan yang begitu kuat, tidak mudah mengkonsolidasika menjadi lahan luas sehamparan yang bisa dikelola secara efisien dengan menggunakan mesin canggih. Penggunaan teknologi canggih harus terus berkembang sesuai dengan kondisi sumberdaya yang kita miliki, agar pertanian lebih efisien, kualitas produknya lebih baik dan keuntungannya lebih tinggi, serta tetap menjaga lingkungan agar berkelanjutan.
Jadi Ojo Banding-Bandingke, mengutip kata-kata Farel Prayoga.
Usaha pendukung di pedesaan untuk menerapkan Smart Farming seperti traktor pengolah tanah, mesin pemanen, pengering, pengembangan pupuk dan pestisida yang minim bahan kimia dan pengolahan hasil pertanian, itulah yang diperlukan. Yang harus ditiru dengan baik adalah koperasinya. Karena koperasinya kuat, maka pertanian di negara maju mempunyai posisi yang kuat. Itu pun masih dibantu pemerintahnya dengan berbagai kemudahan.
Fungsi koperasi kita di pedesaan tersebar dan melekat di berbagai kelembagaan ekonomi dan bisnis pedesaan seperti Koperasi, Gapoktan, Kelompok Usaha, dan lain-lain yang masih berjalan tersendat di bawah pembinaan yang berbeda-beda pula.
Kesejahteraan Petani
Benih: Antara Aturan dan Teknologi
Sertifikasi ISPO Kebun Rakyat Mengapa Tersendat?