Sinar Tani, Jakarta — Kita masih ingat, upaya swasembada beras sempat ditanggapi miring khususnya ketika memasuki era keterbukaan pasar global. Dalihnya adalah kita harus fokus pada pengembangan sumberdaya unggulan, dan kita akan mampu membeli beras di pasar global. Akhir-akhir ini terbukti perhitungan itu meleset.
Akibat sumberdaya lahan sawah yang terus menciut dan kualitasnya menurun, pasar beras dunia semakin kecil, ancaman perubahan iklim yang melanda dunia dan terakhir terpaan Covid 19 dan perang Ukraina dengan Rusia, persoalan pangan tiba-tiba dibahas tuntas dan lantas diberi label “warning” dan “harus diwaspadai”. Apalagi sekarang beberapa negara penghasil beras utama seperti India dan Vietnam mulai menghentikan ekspornya untuk memperkuat cadangan pangan dalam negeri sendiri. Nah di sini persoalannya, lalu apa upaya kita.
FAO sudah memperingatkan seluruh negara di dunia bahwa pangan akan menjadi masalah besar di masa depan. Respon yang cepat juga tidak sertamerta menghasilkan solusi karena banyak perhitungan yang perlu pertimbangan, seperti kesesuaian sumberdaya lahan, teknologi dan kondisi sosial ekonomi dan kultural setempat.
Walaupun upaya memasilitasi sarana irigasi dan distribusi gencar dilakukan akhir-akhir ini, pakar benih beranggapan, penggunaan benih yang berpotensi menghasilakn produktivitas tinggi seperti hibrida dan hasil rekayasa genetik masih jauh tertinggal dibanding dengan negara lain. Umumnya petani memperhitungkan perbedaan produktivitas, harga, selera konsumen dan sarana produksi sehingga masih banyak memilih varietas unggul yang biasa mereka gunakan.
Kehati-hatian akan dampak negatif penggunaan benih transgenik sangat kental, padahal pada saat yang sama sejumlah besar komoditas pertanian yang diperdagangkan di dunia sudah menggunakan benih transgenik. Sejak benih transgenik dilegalkan, sudah ada 10 produk rekayasa genetik yang diperdagangkan, tujuh komoditas jagung dan sisanya tebu.
Dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa dan luas sawah irigasi hanya 7,7 juta Ha, (bandinhgkan dengan Thailand dengan penduduk 65 juta jiwa dan sawah 13,5 juta Ha), kita memang memerlukan kerja ekstra keras untuk membangun ketahanan pangan. Impor beras masih tinggi dan semakin tidak mudah dengan ditutupnya ekspor beras dari India dan Vietnam. Lalu bagaimana pengembangan benih nasional?
Tidak diragukan lagi, dengan tingkat produktivitas saat ini, kita harus melirik benih baru, transgenik atau disebut PRG (Produk Rekayasa Genetik) adalah salah satunya. Kini Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian sudah melebur dalam BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Pengalihan ini meninggalkan sejumlah besar asset dan fasilitas yang sampai saat ini masih di bawah Kementerian Pertanian Balai Besar Penelitian Padi.
Sejatinya aktivitas penelitian penting ini tidak tersendat. Bahkan harus digerakkan lebih gencar lagi untuk berinovasi menghasilkan benih yang produktivitasnya tinggi, responsif terhadap pemupukan, tahan terhadap hama dan kondisi ekstrim yang mungkin terjadi.
Baca juga
Kelor, Hadapi Ancaman Indonesia Emas 2045
Dwi Tunggal Ketahanan Pangan Nasional
Revitalisasi Industri Kelapa Indonesia