15 Januari 2025

Sinar Tani

Media Pertanian Terkini

Beranda » Lebih dari 50 Tahun, Sate Kambing Laksana Rasanya tak Berubah

Lebih dari 50 Tahun, Sate Kambing Laksana Rasanya tak Berubah

Warung Sate Laksana | Sumber Foto:Memed Gunawan

Sinar Tani, Kuningan — Ibu Eti yang berumur sekitar 50-an masih tangkas mengatur, memberi arahan dan juga ikut memotong daging kambing di warung sate miliknya. Warung sate yang sudah berumur lebih dari 50 tahun ini memang istimewa: Rasanya istimewa, dagingnya empuk, beraroma wangi dengan bumbu sangat sederhana, hanya kecap dengan irisan rawit dan bawang merah.

Melihat umurnya yang lebih dari setengah abad, jangan-jangan ada hubungannya nama “Warung Sate Laksana” yang terpampang di atas warungnya dengan harapan pemiliknya. Yang jelas, walaupun bangunan yang ditempatinya sederhana, pengunjungnya untuk ukuran kota kecil seperti Luragung, Kuningan ini datang pergi, kadang mengantri tanpa henti. Warung ini terus bertahan dan tahan banting termasuk pada masa pandemi dan resesi. Padahal harganya mendekati harga sate di kota besar, antara Rp 45 ribu sampai Rp 60 ribu per sepuluh tusuk. Cukup tinggi untuk ukuran kota kecil.

“Usaha turun-temurun, Pak. Saya meneruskan usaha bapak saya, dan bapak saya juga meneruskan usaha dari bapaknya. Tapi kami mempertahankan satu hal, yaitu tidak mengubah rasanya. Sama dari dulu sampai sekarang,” katanya menjelaskan.

Bu Eti menyadari langganannya punya selera berbeda, ada yang suka lemak ada yang tidak. Jadi saya sediakan sesuai selera langganan.

“Bahkan selalu ada yang memesan sate buntut kambing dan torpedo yang melegenda itu. Harga sate campur lemak lebih rendah dibanding yang khusus daging,” katanya.

Dua orang yang membantunya bernama Ini dan Iyan berdandan rapi, juga cekatan membakar dan menyiapkan kecap di piring di bayangi karkas kambing yang tergantung di sebelahnya. Ini tradisi menggantungkan daging kambing yang bisa ditemui di semua warung sate di Jawa. Seolah satu penanda: Di sini tersedia Sate Kambing. Penanda seperti ini tidak ditemui di warung sate ayam atau sate sapi.

Baca Juga :  Dari Nasi Basi Menjadi MOL Sendiri

Walaupun ada kipas angin listrik yang terus hidup berhembus agar arang pada pembakaran sate tetap menyala, mbak Ini harus menambahnya dengan angin dari kipas bambu yang terus bergerak di tangan kanannya. Sementara tangan kirinya lincah membolak balik sate yang dibakarnya.

Pengunjung membludak di ujung sore itu. Tiga meja masing-masing dengan enam kursi terisi penuh, sementara sekitar 6 orang di luar menunggu giliran. Tidak kurang dari 200 tusuk sate dibakar hanya untuk pesanan di dua meja, Mbak Ini harus terus membakar sate  berkejaran dengan langganannya yang makan dengan lahap dan terus minta tambah.

Asap yang menebar wangi sate menyeruak di sekitar Warung Sate Laksana. Mangkuk sop datang dan pergi dan bergelas-gelas kopi tubruk hilir mudik. Kesibukan tiga perempuan setengah baya itu sangat mengagumkan. Pantas satu sampai dua ekor kambing dipotong setiap hari, sebagian dijadikan sate, sisanya dijadikan sop dan gule kambing. Ketika ditanya penghasilannya, bu Eti bicara terus terang.

“Satu kilo daging kambing bisa jadi 70 tusuk sate. Dari seekor kambing umumnya diperoleh 7 kg daging, sisanya dibuat sup dan gule. Jadi bisa dikira-kira penghasilannya berapa,” katanya tanpa menyembunyikan data.

Warung ini paling banyak memotong dua ekor kambing. Pengunjung kami di kota kecil ini tidak banyak, kecuali pada saat lebaran, katanya menjelaskan.

Ekonomi perdesaan masih atau sudah bergerak, pedagang masih berjualan, walaupun masih dalam ancaman Covid yang terus bermutasi melahirkan virus varian baru.

Masih ada harapan di tengah terpaan. Yang penting manusia terus berusaha dan terus berkreasi dan berinovasi.

 

Reporter : Memed Gunawan

tidak boleh di copy ya

error

suka dengan artikel ini