15 Maret 2025

Sinar Tani

Media Pertanian Terkini

Beranda » Pemasaran, Masalah Pelik Petani Salak Organik Wonosobo

Pemasaran, Masalah Pelik Petani Salak Organik Wonosobo

Sinar Tani, Wonosobo — Salak menjadi salah satu komoditas andalan Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Bukan hanya yang ditanam secara konvensional (an organik), ternyata terdapat pula salak yang dikembangkan secara organik. Namun sayang, dengan kualitas dan label organik yang dimiliki belum bisa mengangkat harga jual di pasaran.

Desa Pucung Wetan, Tlogo, Kajeksan dan Kalibening di kabupaten Wonosobo terkenal sebagai penghasil salak berkualitas. Dengan ukuran yang besar, berwarna cerah kuning kecoklatan dan segar, menjadikan salah dari desa-desa tersebut masuk dalam buah grade A dan grade B.

Bahkan kelompok Tani “Sari Bunga” di Pucung Wetan, telah mengantongi sertifikat salak organik dari Lembaga “Inofice” Bogor. Namun ironisnya, pasar belum menghargai dengan sepantasnya label organik tersebut.

Ditingkat petani salak organik kelas 1 tersebut hanya dihargai Rp 3.000,- sampai Rp 3.500,- per kg. Sama dengan buah salak non organik.

Adalah Dri Praswanto, anggota Kelompok Tani “Sari Bunga” yang memperkenalkan pertanian organik pada budidaya salak di desanya. Sejak tahun 2008, Dri Praswanto sudah meninggalkan pupuk kimia dan pestisida kimia bagi tanaman salaknya.

Petani salak yang sekarang dipercaya menjadi ketua Gapoktan “Tani Jaya” desa Pucung Wetan, tersebut memupuk tanaman salak sepenuhnya hanya menggunakan POC, pupuk kompos dan pupuk kandang saja. Sedang untuk mengendalikan hama dan penyakit dia melakukan Pengendalian Hama Penyakit Terpadu.

Pengetahuan tentang bertanam salak organik didapatkan sebagian besar etika Kelompok Tani “Sari bunga” mendapat bimbingan SL-PHT dari Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Selebihnya belajar dari Penyuluh Pertanian BPP Sukoharjo dan dari sosial media yang cukup dikuasainya.

Dri Praswanto pintar meramu POC sesuai tujuan pemupukan. Misalnya untuk menyuburkan tanaman ia akan menambah bahan Jerami dan daun-daunan. Apabila ia akan memperbaiki mutu buah salak, ia menambahkan bahan gedebog pisang dan daun klirisidae. Ia juga sudah mahir membuat stater dari bahan terasi dan air cucian beras. Kadang-kadang saja ia membeli stater yang dijual di toko pertanian.

Baca Juga :  Pameran Produk Pangan Diserbu Pengunjung Festival Urban Farming Jakarta

Bertanam salak organik yang dilakukan Dri Praswanto ternyata juga disukai oleh para petani di kelompok tani “Sari bunga” dimana ia juga menjadi anggota. Dibawah bimbingan para Penyuluh Pertanian, Kelompok Tani “Sari Bunga” dapat memperoleh pengakuan sebagai Kelompok Tani Salak Organik dengan sertifikat yang didapat dari dari Lembaga Sertifikasi Organik “Inofice” di Bogor pada tahun 2017.

Sebenarnya Gabu-ngan Kelompok Tani “Tani Jaya” yang dipimpinnya mempu-nyai anggota 5 ke-lompok tani. Yaitu kelompok tani “SIDO RAHAYU” (Dk. Pucung wetan), kelompok tani “SARI BUNGA” (Dk. Wonosari), kelompok tani “GUYUB RUKUN” (Dk. Pandak Lor), kelompok tani “SIDO MUKTI” (Dk. Pandak Kidul) dan Kelompok Tani “KOPI JAYA” (Dk. Kalimangli). Namun yang memperoleh sertifikat salak organik baru Kelompok Tani “Sari Bunga”

Melalui Gapoktan ini kelompok tani selain “Sari bunga”  juga dibina dan dikawal dalam menerapkan sistem pertanian yang lebih baik, salah satunya yaitu mulai diterapkanya sistem pertanian salak organik.

Secara bertahap para petani mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida kimia. Melalui sistem pertanian organik ini diharapkan para petani memperoleh keuntungan yaitu biaya produksi yang lebih rendah, produksi buah salak yang dihasilkan aman konsumsi serta ramah lingkungan.

Dalam merintis jalan kearah budidaya salak organik, Gapoktan “Tani Jaya” telah melaksanakan GAP (Good Agricultural Practice), dan telah memeroleh Sertfikat “Prima 3” dari Otoritas Kompetensi Keamanan Pangan Daerah (OKKPD) Jawa Tengah.

Koordinator BPP Kecamatan Sukoharjo, Kirmono mengatakan Desa Pucungwetan, merupakan salah satu desa sentra  penghasil salak di kecamatan Sukoharjo. Terletak pada ketinggian sekitar 650  m dpl.

Bersama desa-desa tetangganya misalnya  desa Kajeksan (845 m dpl), desa Tlogo ( 928 m dpl ) dan desa Kalibening ( 944 m dpl ), desa Pucung wetan termasuk klasifikasi  “desa atas”.  Berada di sebelah barat lereng gunung sindoro dengan suhu udara 20-30 ⁰C, pada bulan tertentu bisa lebih dingin lagi.

Baca Juga :  Mau Tanam Cabai? Sekarang Saatnya

Dari desa-desa inilah  dihasilkan buah salak super yang kebanyakan masuk  grade A ( 12 butir per kg ) dan grade B (13 – 15 butir per kg ). Kulit buah juga berwarna lebih terang, kuning kecoklaten dan kandungan air lebih banyak. “ Kemungkinan karena pengaruh iklim mikro setempat” kata Kirmono.

Sejak dahulu masalah yang dihadapi petani salak organik , dan juga salak non organik adalah pemasaran. Para petani salak ini di hadapkan dengan fluktuasi harga yang cukup tinggi. Pada masa panen raya harga sedemikian jatuh, bisa hingga Rp 1.000,- per kg. Pada bulan ini harga salak di tingkat petani Rp 2.000,-  sampai Rp 3.500,- per kg. Tergantung grade buah.

Ironisnya buah salak organik, yang di hasilkan dari kebun tanaman organik bersertifikat pun dihargai sama dengan buah salak non organik. Tidak ada beda.

Bentuk Asosiasi

Hal ini mendorong Dri Praswanto bersama teman-teman membentuk Asosiasi Petani Salak Organik Wonosobo. Asosiasi ini beranggotakan 20 orang, kebanyakan  dari desa Sukoharjo, Tlogo, Kalibening, kecamatan Sukoharjo, dan ada juga yang dari kecamatan  Leksono.

Tujuan pembentukan organisasi ini terutama mencari dan mengatur pemasaran buah salak organik yang dihasilkan anggota. Selama ini mereka belum merasakan kelebihan harga dibanding salak biasa. Menurut Dri Praswanto, seharusnya salak organik sepantasnya bila dijual dengan harga Rp 10.000,- per kg.

Pada tahun 2014 pernah Dri Praswanto melayani permintaan dari broker, untuk di export. Dengan cara putus beli di bandara Soetta, Jakarta. Pada waktu itu bisa terjual 1.500 kg per minggu dengan harga Rp 13.000,- per kg.

Namun berhenti sama sekali ketika pandemi Covid-19 menerpa. Sampai sekarang belum terbuka lagi hubungan pemasaran tersebut.

Baca Juga :  Mengangkat Pedasnya Cabai Hiyung Kalsel Menuju Hasil Berkualitas

Penjualan melalui Supermarket yang ada di kota Wonosobo juga telah dijajagi. Namun dirasa berat di perjanjian kerja. Karena pihak supermarket menginginkan kualitas diatas pasar, tetapi dengan harga dibawah pasar. Sudah begitu pembayaran tempo 1 bulan dan berlaku system retour. Barang tidak habis terjual, dikembalikan.

“ Sebenarnya kami siap melayani permintaan buah salak. Baik jumlah atau tonase, grade atau kualitas serta pengiriman barang” ujar Deri Praswanto sebagai Ketua Asosiasi Salak Organik Wonosobo.

Saat ini setiap 2 hari atau seminggu 3 kali, Praswanto mengirim buah salak ke Sumatra Barat. Sekali kirim sebanyak 10 sampai 15 peti. Setiap peti berisi buah salak terpilih sebanyak 50 kg.

Buah salak tersebut tidak hanya dari kebun miliknya sendiri, tetapi juga dari petani-petani salak tetangga satu kelompok, satu desa atau bahkan dari luar desa. Memang Dri Praswanto disamping bertani salak, ia juga  merupakan salah satu pengepul buah salak. Pengepul semacam Dri Praswanto banyak di jumpai, hampir ada di setiap dusun di Kecamatan Sukoharjo, Wonosobo.

Dri mengakui bahwa pemerintah daerah sebenarnya juga telah mengulurkan tangan dengan membantu sarana prasarana. Namun agaknya para petani ini masih memerlukan bantuan, terutama untuk menunjukkan jalan bagi pemasaran yang lebih luas.

Reporter : Djoko W

tidak boleh di copy ya

error

suka dengan artikel ini