Sinar Tani, Demak — Gapoktan Karya Makmur di Desa Pasir, Kabupaten Demak, merupakan gabungan dari sembilan kelompok tani dan satu kelompok wanita tani yang mengelola sekitar 800 hektar lahan pertanian. Dari total lahan yang ada, sekitar 650 hektar secara rutin ditanami bawang merah, yang diselingi dengan tanaman cabe atau sayuran lainnya.
Menurut Ketua Gapoktan Karya Makmur, Syukron, tradisi budidaya bawang merah di Desa Pasir telah dimulai sejak tahun 1990-an. “Budidaya bawang merah ini sudah berlangsung selama 30 tahun, dimulai sejak generasi orang tua kami,” ujar Syukron.
Bawang merah di desa ini ditanam sepanjang tahun, dengan tiga musim tanam utama, yaitu Oktober, Februari, dan Juni. “Jeda waktu sekitar dua bulan antar musim tanam kami manfaatkan untuk mengolah tanah, sambil menunggu masa dormansi benih bawang merah,” jelas Syukron.
Selain itu, sebagian hasil panen biasanya disisihkan untuk dijadikan bibit pada musim tanam berikutnya.
Tanaman bawang merah menjadi komoditas andalan bagi para petani di Desa Pasir, meski memerlukan biaya produksi yang cukup besar. “Rata-rata, untuk setiap hektar lahan, kami mengeluarkan biaya antara Rp 90 juta hingga Rp 100 juta. Biaya tersebut meliputi pengolahan tanah, pembelian bibit, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja,” ungkap Syukron.
Para petani di desa ini berupaya keras untuk mencapai hasil panen yang maksimal, demi mengamankan investasi yang telah mereka tanamkan. “Dalam satu kali musim tanam, kami memupuk bawang merah sebanyak tiga kali dengan pupuk NPK. Dosisnya sekitar 300 kg setiap kali pemupukan, sehingga untuk satu hektar dibutuhkan antara 900 kg hingga 1 ton pupuk NPK,” jelas Syukron.
Pupuk tersebut sebagian berasal dari pupuk subsidi, sementara sisanya harus dibeli dalam bentuk pupuk non-subsidi. “Selain itu, kami juga menambahkan pupuk organik cair (POC) dan zat pengatur tumbuh (ZPT),” tambahnya.
Untuk melindungi tanaman bawang merah dari serangan hama dan penyakit, para petani menggunakan berbagai jenis insektisida dan fungisida yang tersedia di kios-kios pertanian setempat.
“Jika kondisi tanaman aman, kami melakukan penyemprotan seminggu sekali. Namun, jika ada tanda-tanda serangan hama atau penyakit, frekuensi penyemprotan bisa meningkat menjadi setiap dua hari sekali atau bahkan setiap hari,” terang Syukron.
Syukron menambahkan setiap penyemprotan, biasanya petani mencampur 4 hingga 7 jenis insektisida dan fungisida, ditambah POC dan ZPT. Terkadang, saking semangatnya, petani bahkan mencampur 2 atau 3 jenis pestisida yang bahan aktifnya sama,
Produksi bawang merah di Gapoktan Karya Makmur, Desa Pasir, Kabupaten Demak, saat ini mencapai rata-rata 9 ton per hektar. Namun, Ketua Gapoktan Karya Makmur, Syukron, mengungkapkan bahwa angka ini sudah sulit untuk ditingkatkan.
“Produksi 9 ton per hektar ini sudah mentok. Kami kesulitan mencapai produksi yang lebih tinggi di lahan yang ada,” kata Syukron.
Dia juga mengingat masa ketika produktivitas bawang merah di daerahnya bisa mencapai 12 hingga 14 ton per hektar, terutama ketika lahan baru ditemukan. Namun, sekarang petani di Desa Pasir merasa kesulitan bersaing dengan daerah lain seperti Probolinggo, Jawa Timur, Bantul, Yogyakarta, dan bahkan tetangga mereka sendiri, Sragen, Jawa Tengah.
“Produktivitas kami sudah mentok, biaya produksi semakin besar, dan umbi bawang merah yang kami hasilkan juga lebih kecil-kecil,” keluh Syukron.
Gapoktan Karya Makmur telah lama mendapatkan pendampingan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah melalui Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) dan penyuluh pertanian setempat.
Selain itu, mereka juga mendapatkan dukungan dari Bank Indonesia Semarang dan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang melaksanakan program “Dosen Pulang Kampung”.
Pendampingan ini bertujuan membantu petani mengatasi berbagai tantangan dalam budidaya dan tata niaga bawang merah. Salah satu hasil dari pendampingan ini adalah keberhasilan Gapoktan Karya Makmur dalam memproduksi bawang merah semi-organik.
“Kami sebenarnya belum bisa berbudidaya organik penuh, baru dalam tahap permulaan. Setiap petani baru mencoba beberapa ratus meter persegi, dan kami masih menambahkan pupuk dan pestisida kimia sebagian,” ujar Syukron, yang mengakui tingkat keorganikan produk mereka berkisar antara 60% hingga 80%.
Meskipun demikian, hasil awal ini cukup menjanjikan. Saat dipamerkan di Jawa Tengah Agroinnovation Expo (JAE) di Soropadan pada bulan Agustus lalu, produk semi-organik Gapoktan Karya Makmur yang dijual seharga Rp 30.000 per kilogram ternyata lebih diminati dibandingkan produk non-organik seharga Rp 20.000 per kilogram.
Berdasarkan pengalaman ini, Syukron dan anggota Gapoktan Karya Makmur bertekad untuk terus meningkatkan penerapan teknologi budidaya bawang merah organik. “Semoga dengan budidaya organik ini, kami dapat merehabilitasi lahan yang sudah capai, serta meningkatkan produktivitas bawang merah kami yang telah mentok,” pungkasnya.
Reporter : Djoko W
Baca juga
Alpukat, Angkat Perekonomian Masyarakat Dusun Kalibening
Manis dan Cepat Panen, Yuk Kenali Varietas Anggur Unggul Jabar
Dukung Ketahanan Pangan, Soppeng Distribusikan 2 Juta Pohon Cabai Tampaning