Sinar Tani, Jakarta — Dengan harga kakao yang meroket, industri cokelat Indonesia menghadapi tantangan serius karena produksi kakao negara ini mengalami penurunan signifikan.
Biji kakao telah menjadi perbincangan utama akibat lonjakan harga yang mencolok tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. UNCTAD mencatat peningkatan harga kakao sebesar 136 persen dari Juli 2022 hingga Februari 2024.
Selain itu, Organisasi Kakao Internasional memperkirakan kekurangan pasokan global sekitar 374.000 ton untuk musim 2023-2024, yang mendorong harga biji kakao melambung di pasar internasional, termasuk di Indonesia.
Naiknya harga biji kakao secara langsung akan berdampak pada industri-industri yang bergantung pada komoditas ini, mulai dari industri cokelat secara keseluruhan hingga pelaku industri makanan yang menggunakan kakao sebagai bahan baku utama.
Menurut Director & Executive Pastry Chef APCA Indonesia, Louis Tanuhadi, isu kenaikan harga biji kakao telah muncul sejak 2023 sebagai dampak dari pemanasan global.
Louis menyatakan bahwa situasi ini tidak hanya mempengaruhi Indonesia tetapi juga negara-negara di Afrika.
“Indonesia dari tahun ke tahun biasanya menghasilkan sekitar 750.000 hingga 800.000 ton biji kakao, karena sebelumnya dikenal sebagai salah satu negara penghasil kopi terbesar di dunia,” jelas Louis.
Ironisnya, produksi biji kakao Indonesia terus mengalami penurunan signifikan sejak tahun lalu (2022/2023).
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan Statistik Kakao Indonesia 2022 yang dirilis pada tahun 2023, produksi kakao di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 650.612 ton. Terjadi penurunan sebesar 5,46 persen dibandingkan dengan produksi pada tahun 2021.
Provinsi yang menjadi penyumbang terbesar produksi kakao pada tahun 2022 adalah Sulawesi Tengah, dengan jumlah produksi sebanyak 130.848 ton.
Menurut Louis, selain dampak dari pemanasan global, berkurangnya produksi kakao di Indonesia disebabkan oleh jumlah pohon kakao yang sangat terbatas.
Louis juga mencatat situasi serupa terjadi di Afrika, di mana jumlah pohon kakao juga minim. Hal ini menyebabkan lonjakan harga kakao pada awal tahun 2024, terutama antara Januari dan April.
Louis melanjutkan dengan mencatat bahwa kenaikan harga biji kakao cukup drastis, melonjak dari sekitar Rp 25.000 per kilogram menjadi sekitar Rp 170.000 per kilogram pada bulan April 2024.
Menurut Louis, meskipun kenaikan harga tersebut terlihat menggiurkan secara angka, namun tantangan utama yang dihadapi adalah ketersediaan biji kakao di lapangan.
Meskipun harga biji kakao mulai turun menjadi sekitar Rp 70.000 menjelang musim panen bulan Juni, harga tersebut masih di atas harga normal.
Louis menekankan bahwa ketidaktersediaan biji kakao secara luas menghambat produsen cokelat untuk melakukan produksi.
Hanya produsen cokelat besar dari negara-negara seperti Belgia dan Perancis yang mampu memproduksi secara berkelanjutan, karena mereka memiliki cadangan biji kakao yang mencukupi dan daya beli yang kuat.
Baca juga
Wow! Kementan Sukses Bangun Klaster Kopi Cibaka Sukamakmur, Sentra Baru Kopi Unggulan
TRST01 Transformasikan Perkebunan Karet, Ciptakan Masa Depan Berkelanjutan
Petani Lebak, Tumpang Sisip Padi Gogo di Lahan Sawit