Sinar Tani, Jakarta — Sesuai dengan namanya, penyakit batik nama khas yang diberikan petani ini memiliki gejala klorosis yang terjadi di dekat tulang daun nampak bertepi tegas dan bercorak seperti batik dengan warna yang cukup tajam.
Penyakit batik awalnya diduga sebagai Vascular Streak Dieback (VSD), namun ada perbedaan yang bisa dilihat. Mulai dari daun, bila pada penyakir batik terdapat bercak berwarna hijau kekuningan (mozaik) di sekitar tulang daun dengan motif seperti batik, maka daun pada penyakit VSD memiliki ciri spot bercak hijau-kekuningan merata di permukaan daun.
Pada bagian batang yang terkena penyakit batik jika dipatahkan tidak terdapat tiga noktah. Sedangkan pada penyakit VSD memiliki ciri Jika batang dipatahkan terdapat tiga noktah berwarna kecoklatan (tanda bercak di sepanjang pembuluh xylem).
Bila dilihat pada bagian ranting yang terserang penyakit batik tidak ada yang rontok atau daun-daun pada ranting masih terlihat utuh. Sedangkan yang terkena VSD, daun-daun yang terdapat pada ranting gugur sebagian, sehingga ranting terlihat “ompong”.
Dan yang terakhir, ciri dari penyakit batik ialah bunga gagal terbentuk sehingga produksi kakao menurun drastis.
Kasus penyakit batik dijumpai pada kebun kakao di Desa Tamansari, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Para petani di sana menyebutnya sebagai penyakit batik.
Dikarenakan gejalanya mirip dengan VSD, awalya penyakit ini diduga disebabkan oleh varian atau strain dari cendawan Oncobasidium theobromae (penyebab VSD). Namun ternyata penyakit ini pernah dilaporkan sebagai penyakit baru oleh Kandito et. al. dalam first report mereka pada awal tahun 2022.
Hasil identifikasi secara molekuler menunjukkan bahwa penyebab penyakit ini adalah Cacao Mild Mosaic Virus (CaMMV) dengan nilai bootsrap sebesar 99, namun persentase identifikasinya masih 92,78%.
Menurut Kandito et.al., CaMMV merupakan genus Badnavirus yang berasosiasi dengan penyakit mozaik pada tanaman kakao.
Dilaporkan penyakit batik telah menyebar di beberapa wilayah antara lain Kabupaten Pesawaran (Lampung), Kabupaten Jember (Jawa Timur), dan Kabupaten Kulonprogo (DI Yogyakarta).
Namun, hingga saat ini belum terdapat laporan intensitas dan luas serangan penyakit ini karena mungkin selama ini dianggap sebagai VSD. Penyakit ini dapat disebarkan dan diperparah oleh vektor berupa kutu putih (Planococus citri). Selain itu, insidensi penyakit ini sangat erat dengan perubahan iklim yang terjadi akhir-akhir ini.
Menurut petugas perkebunan Kabupaten Pesawaran, Sugito bahwa klon-klon yang rentan terhadap penyakit ini antara lain MCC, Sulawesi 1, dan Sulawesi 2, sedangkan klon lokal cenderung lebih tahan.
Lebih lanjut dikatakan Sugito bahwa penyakit ini juga menyebabkan buah menjadi kering-keriput apabila infeksinya terjadi setelah tanaman berbuah.
Sesuai hasil rapat National Plant Protection Organization (NPPO) di Depok pada (14/11), penyakit batik perlu dipantau secara intensif di Provinsi Lampung dan provinsi lain yang merupakan sentra kakao untuk mengetahui dan mencegah penyebarannya serta segera dikonsolidasikan dengan instansi terkait.
Reporter : Akhmad Faisal/Cecep Subarjah/Andi Asjayani / Bibit Bakoh
Baca juga
TRST01 Transformasikan Perkebunan Karet, Ciptakan Masa Depan Berkelanjutan
Petani Lebak, Tumpang Sisip Padi Gogo di Lahan Sawit
Teknologi Pengendali Ganoderma, Plantation Key Technology Kembali Menangkan Sawit Indonesia Award