Sinar Tani, JAKARTA—Dukungan infrastruktur sangat penting untuk mendorong ekspor kopi. Untuk itulah, Kementerian Perhubungan menggagas pembangunan dry port atau pelabuhan darat untuk distribusi komoditas si hitam ini. Salah satu yang siap dibangun adalah dry port di Bener Meriah, Aceh.
Seperti diketahui, Bumi Rencong menjadi salah setu sentra kopi di Nusantara dengan brand yang paling terkenal adalah Kopi Gayo. Sebagai mata pencaharian pokok masyarakat, umumnya kopi Gayo adalah jenis Arabika yang tersebar luas, dari Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah hingga ke Kabupaten Gayo Lues, dan bahkan Kabupaten Pidie sejak tahun 1998.
Kepala Pusat Prasarana Transportasi dan Intergrasi Moda, Badan Kebijakan Transportasi, Capt Novyanto Widadi mengatakan, pihaknya telah bekerjasama dengan Pusat Studi Transportasi dan Logistik UGM mengadakan kajian perumusan implemntasi dry port untuk distribusi kopi di Aceh. Hasilnya, ternyata, kopi menjadi salah satu komoditas yang memliki peluang pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Selama 13 tahun terakhir atau dari tahun 2008-2020, volume ekspor kopi naik dengan laju 4,5 persen pertahun. Data juga menyebutkan tahun 2022, volume ekspor kopi mencapai 380 ribu ton atau setara dengan kontribusi devisa senilai Rp 11,99 triliun. ”Tren permintaan kopi, seperti di Asean dalam dekade terakhir terus meningkat. Bahkan harga kopi juga di atas rata-rata,” katanya saat Podcast dengan Tabloid Sinar Tani di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Pangsa Pasar Terbuka
Novyanto melihat potensi pangsa pasar kopi masih terbuka lebar. Indonesia saat ini baru mengisi 25-30 persen dari total permintaan kopi dunia, sehingga masih berpeluang meningkatkan porsi kopi dunia di ataa 30 persen. ”Kopi menjadi penghasilan devisa kelima setelah sawit, karet, cokelat dan kelapa. Bahkan menariknya, Indonesia menjadi penghasil kopi keempat di dunia, setelah Brasil, Vietnam dan Kolombia,” katanya.
Meski sudah banyak brand kopi Indonesia yang dikenal di mancanegara, seperti Kopi Java Preanger di AS dan kopi Gayo di banyak negara Eropa, Novyanto menyayangkan, dari sisi perolehan pendapatan, ternyata kopi belum memberikan kontribusi optimal. Selama ini, kopi yang diekspor masih dalam bentuk green bean (biji kopi) dengan 70 persennya masih mutu sedang dan rendah.
Selain itu, dengan luasan lahan kopi sebanyak 1,2 juta ha, produktivitas tanaman kopi petani masih rendah sekitar 811 kg/ha. Angka tersebut jauh dari optimal yang mencapai 1.300 kg/ha. “Untuk itu kami membuat inisiasi atas perintah Menteri Perhubungan untuk membuat terminal kopi di Aceh, khususnya untuk tiga kabupaten yakni Aceh Tengah, Takengon dan Bener Meriah,” tuturnya.
Dengan potensi besar kopi Indonesia, Novyanto menegaskan, perlu didorong peningkatan volume ekspor. Untuk itu Kementerian Perhubungan mencoba menginisasi membuat terminal barang (dry port), khusus kopi. ”Sesuai tupoksi Kemenhub, dukungan kami dengan memfasilitasi sistem distribusi, khususnya sistem transportasi barang. Wujudnya, memberikan akses dan konektivitas lokasi produksi dengan terminal barang,” katanya.
Karena itu, Novyanto mengatakan, pihaknya berupaya mendukung kelancaran pengangkutan kopi dari daerah produksi ke pelabuhan, kemudian menyediakan sarana transportasi, penyediaan fasilitas ataupun sarana bongkar muat. ”Kita harapkan nantinya menjadi eksosistem manajamen logistik. Dengan kecepatan distribusi akan meningkatkan frekuensi dan volume ekspor kopi,” ujarnya.
Dengan adanya dry port diharapkan meningkatkan gairah petani. Baca halaman selanjutnya.
Baca juga
Petani Lebak, Tumpang Sisip Padi Gogo di Lahan Sawit
Teknologi Pengendali Ganoderma, Plantation Key Technology Kembali Menangkan Sawit Indonesia Award
Dari Ladang ke Gudang, Perjalanan Panjang Tembakau Berkualitas