Sinar Tani, Jakarta — Ethiopia telah menunjukkan kepemimpinan yang mengejutkan dalam pertanian berkelanjutan, melampaui Indonesia dalam indikator penting.
Menurut Eliza Mardian, Peneliti Center of Reform on Economics (CoRE), Ethiopia memiliki skor yang jauh lebih tinggi dalam Indeks Keberlanjutan Pangan dibandingkan Indonesia.
“Ethiopia bahkan ranking ke-23 dari 78 negara, sementara Indonesia berada di peringkat 71 dari 78 negara. Sangat jauh dibandingkan Ethiopia, pertanian di Indonesia dapat dikatakan kurang berkelanjutan,” ucap Eliza.
Di Ethiopia, subindikator penting dalam pertanian berkelanjutan seperti manajemen pengairan, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, serta keberlanjutan biodiversitas dan lahan, hampir mencapai nilai sempurna atau mendekati 100.
Eliza Mardian menjelaskan, manajemen irigasi yang efektif sangat krusial untuk memastikan tanaman mendapatkan pasokan air yang cukup.
Sementara itu, di Indonesia, skor untuk manajemen air irigasi bahkan mencapai nol. Eliza menyoroti perbedaan ini dalam konteks pentingnya manajemen air bagi pertanian.
Lebih lanjut, Eliza menunjukkan bahwa beberapa subindikator pertanian berkelanjutan di Indonesia, seperti subsidi pertanian, investasi dalam pertanian berkelanjutan, dan resiliensi terhadap perubahan iklim, berada di bawah Ethiopia.
Hal ini menunjukkan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam meningkatkan praktik-praktik pertanian yang berkelanjutan.
Eliza juga menekankan bahwa dukungan politik yang kuat di Ethiopia telah mendukung implementasi pertanian berkelanjutan.
Kebijakan dan program pemerintah yang terfokus pada pertanian berkelanjutan telah membantu dalam meningkatkan adopsi praktik-praktik yang berkelanjutan, yang pada gilirannya berkontribusi pada menjaga keseimbangan ekosistem yang penting bagi pertanian masa depan.
Manajemen Air
Eliza menegaskan bahwa manajemen air atau pengairan adalah kunci utama dalam pertanian berkelanjutan.
Dia mengkritik kondisi irigasi di Indonesia yang mayoritas rusak berat akibat kurangnya perawatan, pendangkalan, serta tersumbat oleh pembangunan infrastruktur atau perumahan.
“Dari segi anggaran, pemerintah belum memadai untuk merevitalisasi irigasi yang sudah rusak secara sistemik ini. Akibatnya, petani bergantung pada air hujan dan sungai, yang memerlukan biaya tinggi untuk penggunaan solar untuk pompa air,” jelasnya.
Eliza mendorong pemerintah untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak terkait guna membangun sistem pertanian yang berkelanjutan.
Dia juga menekankan pentingnya keterlibatan aktif petani dalam mengembangkan teknologi dan praktik pertanian yang berkelanjutan.
Eliza menekankan, pemerintah perlu berkolaborasi dengan semua pihak terkait untuk membangun pertanian berkelanjutan secara bersama-sama.
Dia juga menyoroti pentingnya keterlibatan aktif petani dalam mengembangkan teknologi dan praktik pertanian yang berkelanjutan.
“Hal ini tidak hanya akan meningkatkan hasil pertanian tetapi juga mengurangi biaya produksi. Petani harus diberdayakan sebagai subjek utama dalam pengembangan teknologi, bukan hanya sebagai objek. Pemerintah dapat memfasilitasi peningkatan dan implementasi R&D serta mempromosikan transfer pengetahuan kepada petani agar mereka dapat berkembang secara mandiri,” jelasnya.
Cetak Sawah 3 Juta Ha, Mentan Minta Dukungan Pengusaha Tionghoa
Jadi Pelopor Penerapan Perpres Penganekaragaman Pangan, NTT Siap
Menteri Pertanian Dorong Pertanian Modern dengan Libatkan Generasi Muda dan Teknologi