14 Oktober 2024

Sinar Tani

Media Pertanian Terkini

Tempe, Tak Harus dari Kedelai

Tempe, makanan rakyat yang cukup populer | Sumber Foto:Dok. Halo Sehat

Sinar Tani, Jakarta—Tempe menjadi makanan rakyat Indonesia yang cukup popular. Sayangnya ketergantungan terhadap bahan  baku kedelai impor membuat kadang industri tempe bergejolak saat harga naik. Padahal tempe juga bisa dibuat dari bahan baku pangan lokal.

Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Kementan, Suwandi mengatakan, tempe tidak hanya dibuat dari kedelai,  namun bisa dari kacang koro, tunggak, gude, dan banyak bahan pangan lokal lainnya. Dengan banyaknya variasi bahan baku tempe tersebut telah menambah khazanah pertempean nusantara dengan kearifan lokalnya. Beragamnya tempe tersebut dapat menciptakan potensi-potensi untuk mengolah lahan marginal.

“Jadi bagaimana tempe sebagai super food dari pangan lokal kita,” katanya. Namun menurut Suwandi, upaya penyediaan pangan, khususnya pangan lokal bernilai gizi tinggi seperti tempe ini harus diperkuat dengan cara baru atau modern agar ketersediaan pangan tangguh yang diikuti upaya hilirisasi dan kepastian pasar untuk meningkatkan kesejahteraan petani bahkan bisa ekspor.

Sementara itu,  Ketua Umum Peragi Provinsi DKI Jakarta, Prof, Sylviana Murni menuturkan, tempe adalah makanan yang sangat ideal bagi dunia yang semakin merata. Tempe adalah jaminan makanan dengan rasa yang lezat plus produksi yang mudah dan murah dengan kualitas nutrisi yang tinggi.

“Jadi, jika tempe sudah sedemikian tinggi nilainya bagi dunia, masihkah orang Indonesia menyangsikan masa depan kemakmuran Indonesia? Jawabannya bergantung pada cara orang Indonesia menghargai karya dan budaya bangsa sendiri,” tutur Sylviana.

Bahkan menurut Sylviana, tempe juga cukup terkenal di luar Indonesia. Diantaranya di AS, Jepang, Selandia Baru, India dan Afrika Selatan. Artinya tempe sudah menjadi makanan yang mendunia. “Tempe adalah persembahan Indonesia untuk pangan dunia. Selain lezat, tempe juga merupakan produk pangan yang murah dan mudah dibuat,” ujarnya.

Di Indonesia, kini ada sekitar 81 ribu industri tempe yang menghasil 2,4 juta ton tempe dengan nilai Rp 37 triliun. Sayangnya di sisi lain, bahan baku tempe masih sebagian besar dari kedelai impor. Dengan kebutuhan kedelai mencapai 2,8 juta ton, produksi kedelai dalam negeri hanya 600 ribu ton.

“Potensi pasar dalam negeri dan internasional, termasuk turunannya cukup besar. Sebut saja, Jepang, Hongkong, AS, Timur Tengah dan Korea Selatan. Bahkan kini ada kebutuhan tempe beku di pasar dunia,” ujarnya.

Beberapa keunggulan tempe menurut Sylvana diantaranya, tempe bisa diproduksi dengan cara sederhana dan teknologi yang sederhana juga. Proses produksi dengan fermentasi cukup sederhana dan cepat, hanya dalam waktu 24-48  jam .

“Rasa dan aroma yang khas membuat tempe bisa ditempatkan diberbagai sajian makanan dengan resep dan selera global,” tuturnya.  Keunggulan lainnya, tempe sangat ideal diproduksi di negara tropis, karena memudahkan untuk memproduksi dan tidak pernah putus.  Bahkan bisa diproduksi di dalam ruangan sepanjang musim.

Co founder Tempe Movement, Amadeus Driando Winarno mengatakan, banyak keunggulan tempe yang belum banyak diketahui masyarakat luas. Dibandingkan daging sapi, kadar protein dan energi tempe bisa sama atau lebih tinggi. Seratnya juga jauh lebih tinggi, begitu juga kandungan kalsiumnya. Lemak jenuh dan garam didalamnya jauh lebih rendah, sedangkan kandungan zat besinya itu sama.

Keunggulan lain adalah proses produksi tempe ramah lingkungan. Satu megajoule energi menghasilkan kurang lebih 4 gram daging sapi. Sementara tempe empat kali lipat lebih efisien, menghasilkan 17 gram. Untuk keluaran gas rumah kaca dalam satuan kilogram karbondioksida, menghasilkan sekitar 7 gram protein daging sapi. Pada tempe terjadi 20 kali penghematan dan menghasilkan 160 gram. Harga, bisa 8 kali lebih murah.

Dalam hal teknologi dan inovasi, Akademisi Teknologi Pertanian UGM, Atris Suyantohadi mengatakan, dengan teknologi Smart Agriculture Enterprise dapat mendorong untuk mengoptimalkan tanaman kedelai sebagai bahan baku tempe di lahan-lahan tropis. Pada prinsipnya, SAE adalah teknologi yang fokus pada intensifikasi regenerative farming dan teknologi ini membuat tanaman kedelai lebih mudah dibudidayakan pada lahan di iklim tropis.

“Selama ditanam, kedelai dimonitor terkait kecukupan nutrisi, kebutuhan air, kondisi cuaca, kebutuhan pupuk hingga tingkat kelembaban tanahnya. Alat sensor yang diletakkan di ladang kedelai, menjadi panduan untuk semua aspek itu secara real time,” jelas Atris.

Dengan potensi lahan yang Indonesia, menurut Atris, Indonesia seharusnya tidak impor kedelai untuk memproduksi tahu dan tempe. Karena itu peran SDM petani, teknologi, dan bagaimana peran riset dan development dikembangkan.

Reporter : Julian

tidak boleh di copy ya

error

suka dengan artikel ini