13 Januari 2025

Sinar Tani

Media Pertanian Terkini

Beranda » Menelisik Strategi Penanganan PMK Dengan Faktor Epidemiologi

Menelisik Strategi Penanganan PMK Dengan Faktor Epidemiologi

Wabah PMK

SINARTANI, Jakarta — Mengacu Pedoman Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH), untuk pengendalian dan pemberantasan PMK, negara perlu membuat “Perencanan Kontinjensi Darurat PMK”. Perencanaan Kontinjensi ini sangat berguna ketika terjadi wabah, Pejabat Otoritas Veteriner (POV) Nasional dan Satgas Penanganan PMK merespon secara cepat mengendalikan wilayah tertular dan menjaga yang belum tertular tetap bebas PMK.

Pada bulan Maret 2022 Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI sudah membuat Perencanan kontinjensi yang disebut “Pedoman Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia Penyakit Mulut dan Kuku” disingkat KIAT VETINDO PMK.

Dalam meningkatkan status kesehatan hewan, POV Nasional merekam setiap tahapan pengendalian dan pemberantasan PMK.  Bukti hasil setiap tahap upaya tersebut didokumentasikan sebagai persyaratan untuk diajukan pengakuan Indonesia bebas PMK kembali secara resmi oleh WOAH.

Faktor Epidemiologi Pengaruhi Strategi Penanganan PMK

Terdapat beberapa faktor epidemiologi yang dapat mempengaruhi strategi pengendalian dan pemberantasan PMK yang dapat dipilih.  Para ahli PMK WOAH telah menyimpulkan tidak ada kekebalan silang di antara tujuh serotipe virus PMK sedunia (O, A, C, SAT-1, SAT-2, SAT-3 dan Asia-1).

Sedangkan dalam serotipe yang sama terdapat variasi antigenik sehingga respon pembentukan antibodi rendah.  Oleh karena itu kita perlu kehati-hatian dalam memilih vaksin yang cocok dengan virus yang menyerang di peternakan.

Drh. Pudjiatmoko, Ph.D_Ditjen PKH

PMK merupakan salah satu penyakit ternak epidemik yang sangat mudah menular sehingga dapat menyebar dengan sangat cepat. Oleh karena itu, peringatan dini sangat penting untuk mendeteksi adanya serangan virus PMK saat masih terbatas.

Respon tegas secara cepat diperlukan supaya penyakit ini dapat diatasi sehingga tidak menimbulkan dampak negatif sosial-ekonomi yang serius. Agar efektif, tindakan respon dilaksanakan dalam waktu sesingkat mungkin, karena tindakan dalam menghadapi keadaan darurat ini hitungan jam sangat penting untuk keberhasilan pengendalian penyakit menular ini.

Sapi dianggap sebagai inang indikator yang baik. Babi merupakan inang penting dalam meningkatkan potensi penyebaran penyakit ini.  Domba cenderung menunjukkan gejala klinis lemah namun dianggap sebagai inang pemeliharaan virus PMK.  Sehingga untuk mencegah saling menularkan virus PMK maka perlu dilakukan vaksinasi terhadap tiga jenis hewan tersebut.

Pergerakan dan transportasi hewan menjadi penyebab penyebaran virus.  Meskipun manusia tidak rentan terhadap infeksi PMK, tetapi manusia sering menularkan virus secara mekanis melui sepatu atau pakaian.

Baca Juga :  KoinWorks dan Chickin Indonesia Salurkan Rp 200 Miliar untuk Peternakan

Hewan yang terinfeksi dapat mengeluarkan virus beberapa hari sebelum hingga timbul gejala klinis.  Sebagian sapi, kerbau dan domba yang pulih kembali sehat tetap menjadi pembawa virus dengan selang waktu bervariasi.  Populasi hewan ruminansia liar, babi liar atau satwa liar dapat bertindak sebagai reservoir infeksi.

Kontak langsung antar hewan merupakan metode penularan yang paling penting, tetapi virus PMK dapat bertahan cukup lama di lingkungan (terutama di daerah beriklim sedang). Penularan mekanis melalui benda-benda peluangnya cukup besar.

Virus PMK dapat bertahan lama pada daging dan produk susu tertentu. Pemberian makanan terkontaminasi virus tersebut ke babi merupakan metode penularan penting.  Terutama dalam penyebaran penyakit secara internasional melalui sisa makanan dari pesawat terbang atau kapal laut.

Penyebaran yang ditularkan melalui angin pada jarak yang cukup jauh dapat terjadi di daerah beriklim sedang. Penyebaran melalui udara lokal juga dapat terjadi di banyak lingkungan. Pemodelan komputer sampai batas tertentu dapat memprediksi penyebaran ini, yang mungkin berguna untuk tujuan zonasi dan pengawasan wilayah.

Di wilayah yang beriklim lebih panas, kontak langsung merupakan metode penularan yang paling penting.  Pemahaman tentang pergerakan ternak dan pola perdagangan sangat penting untuk menyusun strategi pengendalian dan pemberantasan PMK.

Vaksin inaktif digunakan secara luas untuk PMK, tetapi galur vaksin harus dicocokkan dengan hati-hati dengan galur virus yang ada di peternakan, agar tingkat perlindungan yang memuaskan dapat dicapai.  Cakupan vaksinasi harus mencapai minimal 80 persen dari populasi supaya efektif.  Informasi data jumlah populasi yang akurat sangat penting untuk memverifikasi persentase cakupan yang sebenarnya.

Beberapa strain virus PMK predileksi (menyusukai) lebih tinggi untuk satu atau beberapa spesies ternak lainnya (misalnya babi atau sapi), yang memiliki maksud berarti untuk perencanaan vaksinasi massal.

Kekebalan yang diberikan oleh vaksin PMK tidak bertahan lama.  Vaksinasi massal pertama dan vaksinasi ulang perlu dijadwalkan dengan tepat, komprehensif dan diterapkan secara konsisten.

Sebagian hewan yang divaksinasi dapat terinfeksi secara subklinis jika hewan kemudian terpapar virus homolog.  Kemudian dapat menularkan virus hingga 14 hari setelah vaksinasi, bahkan ketika hewan menjadi kebal gejala klinis.

Tes serologis ELISA NSP yang dapat membedakan antibodi hasil infeksi atau vaksinasi sudah tersedia. Tes ini dapat memantau lebih akurat program pengendalian dan pemberantasan PMK menggunakan vaksinasi massal.

Baca Juga :  Lewat Program IB, Pemprov Sulsel Tingkatkan Produksi Ternak Enrekang

Dibanding dengan vaksinasi, Stamping out (melakukan pemusnahan terhadap hewan ternak terinfeksi) dilaksanakan dalam waktu singkat akan lebih cepat mencapai status bebas PMK.  Tetapi biayanya sangat mahal dan perlu sumber daya yang memadai.  Selain itu harus mempertimbangkan kecukupan jumlah dokter hewan, pandangan masyarakat dan masalah lingkungan.

Strategi gabungan dari beberapa upaya di atas sangat berguna dalam berbagai situasi dan kondisi ketika menghadapi serangan PMK.

Sistem zoning dan regionalisasi telah diakui oleh WTO melalui perjanjian sanitary and phytosanitary (SPS) yang sudah berlaku sejak tahun 1995.  Oleh karena itu penggunaan sistem zoning diikuti vaksinasi massal menjadi upaya sangat penting untuk pengendalian PMK dalam rangka mendapatkan kembali status bebas PMK.

Strategi Pemberantasan PMK

Terdapat 4 prinsip dasar yang dapat diterapkan untuk pengendalian dan pemberantasan PMK.  Pertama, penolakan akses virus PMK ke hewan inang yang rentan melalui: (a) pengawasan impor dan tindakan karantina, termasuk pengawasan hewan dalam perjalanan; dan (b) praktik kebersihan dan sanitasi yang baik; (c) menghilangkan bahan yang berpotensi terkontaminasi dari lingkungan melalui upaya pembersihan, disinfeksi dan/atau pemusnahan yang aman; dan (d) mencegah pemberian bahan pakan yang terkontaminasi virus ke ternak.

Kedua, menghindari kontak antara hewan terinfeksi dan hewan rentan.  Caranya dengan menetapkan zonasi, menerapkan karantina peternakan pada area yang terinfeksi atau area berpotensi terinfeksi. Petugas berwenang mengawasi lalu-lintas ternak dan memasang penghalang fisik seperti pagar dsb.

Ketiga, mengurangi jumlah hewan yang terinfeksi atau berpotensi terinfeksi dalam populasi ternak.  Caranya depopulasi hewan yang terinfeksi atau berpotensi terinfeksi dan membuang bangkainya secara aman dengan mengubur dalam atau membakar atau rendering (memroses limbah jaringan hewan agar aman untuk digunakan).

Keempat, peternak mengurangi jumlah hewan yang rentan melalui destocking dan/atau program vaksinasi yang komprehensif.

Memilih strategi pemberantasan

Strategi yang dipilih dapat berupa kombinasi dari beberapa atau semua dari pendekatan tersebut di atas. Tidak ada satu pun strategi pemberantasan PMK yang sempurna yang sesuai untuk semua keadaan.

Penekanan diberikan pada berbagai metode dalam merancang strategi pengendalian dan pemberantasan PMK. Ini tergantung pada faktor epidemiologi, sistem peternakan, penerimaan masyarakat dan biaya yang tersedia.

Baca Juga :  Jelang Ramadhan, Ketersediaan Pangan Asal Ternak Terpantau Aman

Kebijakan Stamping out paling tepat untuk negara industri peternakan yang sangat maju, terutama negara yang melakukan ekspor ternak dan produk ternak. Karena komoditi tersebut sangat bernilai dalam perdagangan negara yang bersangkutan.

Stamping-out skala besar dalam waktu singkat berbiaya sangat mahal dan memerlukan sumber daya banyak. Namun secara keseluruhan dapat menekan kerugian produksi dan perdagangan.

Stamping out merupakan pilihan yang layak jika wabah dapat dideteksi lebih awal, kejadian penyakit masih terlokalisir; tindakan karantina ketat dan pergerakan ternak dapat dikendalikan. Prasyaratnya memiliki kemampuan menganalisis epidemiologi sehingga lokasi dan luas daerah yang terinfeksi dapat dipetakan dengan cepat dan akurat.

Disamping itu perlu melakukan surveilans penyakit dengan baik.  Dilengkapi sistem identifikasi ternak yang handal untuk menelusuri hewan-hewan yang mungkin terinfeksi.  Negara menetapkan rencanakan strategi stamping-out pada saat sebelum kejadian penyakit.

Negara harus menetapkan rencana vaksinasi untuk diterapkan apabila tingkat penyebaran PMK tidak terkendali dan sumber daya yang diperlukan melampaui yang tersedia. Vaksinasi sekitar wilayah tertular (Ring vaccination), vaksinasi tertarget atau vaksinasi penekan di wilayah tertentu diterapkan untuk mengurangi tingkat penyebaran infeksi virus.

Vaksinasi fokus pada wilayah terinfeksi yang sulit diatasi.  Untuk tujuan perdagangan lebih cepat, kemudian dapat dibuat keputusan untuk menyembelih hewan yang divaksinasi untuk mendapatkan deklarasi bebas PMK.

Untuk sebagian besar negara, stamping out skala besar bukanlah pilihan yang layak. Dalam kondisi seperti ini penentu kebijakan menekankan vaksinasi massal yang ditargetkan, didukung dengan pengendalian pergerakan ternak dan pemusnahan ternak yang bijaksana. Pemberantasan dapat berhasil dengan cara ini jika dilakukan secara sistematis.

Kesimpulan dan Saran

Pemberantasan wabah PMK dapat diterapkan dengan menggunakan empat prinsip dasar. Pertama, menghentikan penyebaran infeksi virus melalui tindakan karantina dan pengawasan lalu lintas hewan rentan.

Kedua, menghilangkan sumber infeksi dengan pemusnahan hewan tertular dan hewan yang terpapar (stamping out). Ketiga, menghilangkan virus PMK dengan dekontaminasi kandang, peralatan, kendaraan dan bahan lainnya yang kemungkinan menularkan penyakit, dan pembuangan bahan terkontaminasi.

Keempat, membentuk kekebalan kelompok dengan vaksinasi massal terhadap hewan ternak peka sapi, babi dan domba. Pudjiatmoko_Ditjen PKH

 

 

tidak boleh di copy ya

error

suka dengan artikel ini